Senin, 07 Maret 2016

Restu Sepasang Malaikat




Rangkaian takdir membuat laki-laki itu bertemu sang perempuan, suatu hari, di suatu tempat. Pertemuan yang sebelumnya tidak pernah direncanakan. Saling bertemu dan berbincang kemudian akrab perlahan mencipta geletar entah yang menyemaikan bebijian rasa. Bagi sepasang Adam-Hawa yang diakrabkan oleh waktu dan didekatkan oleh jarak, ada yang tak ayal muncul kemudian, membuat mereka sama-sama jatuh terjerembab dalam apa yang disebut manusia pada umumnya sebagai cinta.

Adam memahami sepenuhnya, manifestasi cinta yang kini menjalari rongga dadanya seharusnyalah ditempatkan di jalan yang semestinya. Ia telah memiliki mata pencaharian, usianya telah matang, bukan lagi remaja beranjak dewasa yang memaknai cinta ala kadarnya. Maka, pertemuan dengan Hawa yang membuatnya ‘jatuh’ kali ini merupakan awal mula perjuangan yang harus ia tempuh, meski berat adanya.

Usai tawarannya yang disambut riang oleh Hawa, ia beranikan mengetuk pintu rumah orang tua sang perempuan. Harap-harap cemas. Ada bongkahan kekhawatiran bercampur baur dengan keraguan yang menyesaki relung dadanya. Apakah orang tua perempuan yang ia dambakan akan bersedia dan ikhlas menerimanya? Duhai, Hawa bukan perempuan biasa-biasa saja. Ia gadis cemerlang yang mendapat beasiswa kuliah magister di sebuah kampus ternama. Banyak pula teman-temannya yang orang asing, orang luar negeri, bukti kemampuannya bergaul dengan masyarakat dari beragam budaya yang berbeda. Sedangkan siapalah Adam? Hanya lelaki biasa dengan pekerjaan biasa-biasa saja yang suatu hari bertemu Hawa secara tidak sengaja.

“Biarkan ia kuliah dulu. Tunggu sampai beres kuliahnya,” begitu jawaban ibunda Hawa. Orang tua itu benar-benar tak ingin anaknya menikah tergesa-gesa, di tengah-tengah masa studi pula. Menurutnya, itu hanya akan mengacaukan konsentrasi kuliahnya, pun konsentrasinya dalam mengerjakan tesis kelak.

“Sepertinya kita belum bisa menikah tahun ini. Bagaimana kalau awal tahun depan?” tanya sang perempuan.

Hening sejenak. Helaan nafas Adam tertahan, sebelum kemudian ada desah resah yang ia hembuskan. Bukankah kebaikan itu sebaiknya disegerakan, tidak untuk ditunda-tunda terlalu lama? Lagipula mereka telah saling mengenal cukup lama. Di mata Adam, Hawa perempuan baik. Di mata Hawa, Adam juga seorang lelaki baik. Detik yang berdetak ketika itu menjadi saksi “sepakat” yang mereka ikrarkan diam-diam dalam hati. Pun doa-doa yang terucap diam-diam dan membumbung tinggi: semoga Allah memudahkan setiap urusan dan langkah-langkah kalian. Semoga kesabaran menjadi sebaik-baiknya berlian yang menjadi penghias upaya-upaya kalian.

Hari-hari berlalu seperti biasa. Awal tahun depan masih lumayan lama. Sang perempuan menjalani kuliah magisternya dengan sungguh-sungguh. Begitu pun, Adam melakoni pekerjaan dan rutinitasnya seperti biasa. Jarak merentang, mereka telah terpisah puluhan kilo jauhnya, karena Hawa menuntut ilmu di kota yang berbeda.

Tanggal berbilang, bulan berganti, kalimat yang Hawa kirimkan suatu petang membuat Adam tertegun kembali.

“Aku tidak yakin jika kita bisa menikah awal tahun depan. Masih ada dua semester yang harus kutempuh, belum ditambah mengerjakan tesis. Sementara orang tuaku menghendaki aku menyelesaikan kuliahku dulu, baru menikah. Bagaimana jika awal tahun depannya lagi, Mas?”

Tidak dibalasnya pesan Hawa. Batinnya berontak, toleransinya memiliki batas, kesabarannya untuk sebuah tunggu yang ‘entah’ hampir-hampir ludas. Ah, apa yang menghalangimu, Hawa? Apakah dengan adaku bersamamu nanti akan memberangus keping-keping mimpimu yang hari ini masih kau tata? Apakah hidup barumu bersamaku nanti berpotensi membatasi gerak langkahmu demi harapan-harapan masa muda yang masih berkeliaran dalam benakmu?

“Sejak awal ibu telah ragu.” Sekali lagi Adam tertegun. Kali ini ucapan ibundanya, perempuan di dunia yang paling dicintainya. Ia memang menyukai Hawa, bahkan rasa ‘cinta’ itu telah tumbuh sedemikian rupa, namun tentu saja itu tak bisa mengalahkan kecintaannya pada perempuan terkasih yang selama ini telah menghujaninya dengan cinta pula.

“Ibu ragu, sebab kalian tidak ‘sepadan’. Kamu tidak merasa minder? Apalagi mendengar cerita tentang latar belakang keluarganya darimu. Ibu kurang yakin mereka bersedia menerima kamu sebagai menantu. Nak, renungkan kembali, jika niatmu menyempurnakan separuh agama memang karena Allah, cintamu kepada-Nya seharusnya melebihi segala kecintaan fana yang ada di hatimu. Apatah lagi rasa cintamu kepada perempuan itu. Jika niatmu memang karena Allah, kamu tidak akan memedulikan lagi urusan perasaan yang berbelit-belit dan rumit. Sebab, tentu masih banyak perempuan baik lainnya yang lebih mau dan siap untuk kau pinang, yang bersedia kau ajak membangun rumah dalam cinta di tangga menuju surga. Jika memang niatmu tulus karena Allah.”

Malam-malamnya kemudian berakhir di atas sajadah dan lembar-lembar kalam cinta yang selalu ia baca. Permohonan-permohonan yang ia hajatkan kali ini tak ayal membuat air mata kelelakiannya berlinang jua: semoga Allah menguatkan hatinya, melunturkan pelan-pelan rasa cintanya yang fana kepada Hawa, meneguhkan langkahnya dan meluruskan niatnya lillahi ta’ala. Satu lagi, tentu ia tak ingin melukai hati perempuan terkasih bernama Bunda dengan mengatasnamakan rasa cinta dan kesanggupan ‘menanti’—meski dalam waktu yang belum menentu.

“Jika kamu setuju, ibu dan bapak punya pandangan calon untukmu. Ibu dan bapak sangat setuju jika kamu mau menikah dengannya. Insya Allah dia baik dan salehah,” ibundanya berujar.

Entah kekuatan macam apa yang kemudian membuatnya mengucapkan “iya” tanpa berpikir panjang seperti biasanya. Usai menata bilik-bilik hatinya, walaupun berat, ucapan perpisahan itu ia kirimkan kepada sang perempuan yang beberapa tahun terakhir ini memenuhi kalbunya. Berat, tentu saja. Namun apalah gunanya memaksakan sesuatu tanpa sepasang malaikat yang mengucap rida? Sama artinya dengan memupus keridaan Sang Maha Kuasa. Sungguh, ia tidak ingin menjadi penyebab perempuan itu melukai hati orang tuanya. Pun ia tak pernah ingin menjadi penggores luka karena menentang restu sepasang malaikatnya.

Selang beberapa minggu setelah pesan ‘selamat tinggal’ itu ia kirimkan, ada yang hadir kembali dengan seutas senyuman. Perkenalan pertama, mereka belum pernah berjumpa sama sekali sebelumnya. Orang tua keduanyalah yang memiliki andil memperjumpakan mereka. Ia tata kembali niat, lilahi ta’ala. Istikharah, meminta petunjuk-Nya. Hatinya mantap mengatakan “iya”. Minggu berikutnya saling berkenalan antar-keluarga. Selang tak berapa lama pula, lamarannya disambut baik, semua menyetujui pinangannya. Tanggal akad pun telah ditentukan. Proses yang tidak lama, tidak rumit dan juga sederhana.

Adam bahagia bersama Hawa barunya. Bukan sekadar Hawa yang membuatnya terjatuh pada ‘cinta’ ala kadarnya pula, namun bidadari yang dikirimkan semesta untuk membersamai tapak langkahnya menuju rida-Nya. Dan sungguh, keridaan-Nya terletak pada rida sepasang orang tua.

***
Seseorang menuturkan cerita itu kepadaku suatu siang, di sebuah warung pinggir jalan, seraya menyantap gorengan. Aku tersenyum tipis. Mengamini ceritanya dalam diam. Pun aku, tidak akan pernah kuserahkan diri dan kehormatanku kepada lelaki yang bisa menjadi penyebabku melawan sepasang malaikatku. Ia harus bisa menjadi pintu surgaku, dan ia yang menjadi pintu surgaku haruslah mampu membantuku menjaga pintu surgaku yang sebelumnya: pintu surga paling tengah, kedua orang tua. 


"Ampunan Allah bisa menenggelamkan dosa-dosa. Bagaimana dengan keridaan-Nya? Keridaan Allah bisa memenuhi semua harapan. Bagaimana dengan cinta-Nya? Cinta Allah bisa mengalahkan logika. Bagaimana dengan kasih sayang-Nya? Kasih sayang Allah bisa membuat orang tidak memerlukan apapun."
(Yahya Bin Muadz) 

Tidak ada komentar: