Lelaki tak pernah usai menebar bunga, namun menyayatkan luka pada
akhirnya. Sementara perempuan berlebihan menimang harapan dan mimpi-mimpi tak
pasti.
“Apakah
selalu seperti itu, Yunda? Kenapa harus selalu perempuan yang menerima luka?”
Aku
menggeleng perlahan. Tidak, Dinda. Tidak semua laki-laki berengsek, pun tak
semua perempuan rapuh pula.
“Lantas?”
Gadis berkerudung biru toska di sampingku membenarkan letak duduknya. Ada nada
keresahan dalam sebilah tanya yang ia lontarkan.
“Kita
hanya sedang tertatih belajar,” ucapku kemudian.
“Maksud
Yunda?” Aku bergeming, sebelum kemudian ia melanjutkan kisahnya.
“Aih,
tentu aku masih belum bisa lupa. Lelaki itu telah mengincarku sejak lama.
Namun, sejak awal aku telah menegaskan kepadanya untuk menjaga hijab komunikasi
di antara kami, kecuali dia memang telah benar-benar serius dan siap untuk
melamarku. Kupegang janjinya untuk itu dan kulihat pula bagaimana ia konsisten
dengan ucapannya. Setahun berlalu dan ia memegang janjinya untuk tetap menjaga.
Hingga aku menamatkan kuliahku dan diwisuda, ketika itulah ia mulai mendekatiku
lagi, mengatakan bahwa ia serius dan siap untuk melamarku. Orang tuaku memang
mengharapkanku segera menikah usai wisuda, Yunda. Lantas, orang tua mana yang
tidak berbunga hatinya mengetahui pria yang datang berniat meminang putrinya
adalah seorang hafiz Quran? Aku maupun ayah-ibu tidak sedikit pun meragukan
keluasan pengetahuan agamanya. Insya Allah dia mampu menjadi imam yang baik
kelak dalam rumah tangga. Baiklah, akhirnya ia berencana melamarku dua bulan
kemudian, dengan konsep akhir tahun akad nikah kemudian resepsi digelar di awal
tahun berikutnya.”
Ada
jeda sebelum ia melanjutkan kisahnya. Aku bersiap mendengarkan kembali dengan
seksama.
“Namun,
itulah kuasa Allah, Yunda. Adindamu ini benar-benar tidak ingin memiliki
sejarah kotor dalam mencapai mahligai rumah tangga. Lelaki itu ternyata tidak
sabaran. Dia terus saja menghubungiku dengan gaya bahasa yang tak ubahnya
seperti lelaki kebanyakan. Padahal, dulu-dulu aku menjauhinya sebab ia juga tak
bisa menjaga hijab komunikasi. Awalnya ia memang berubah, namun muncul lagi
dengan gaya yang seolah tak ada wujud perubahan itu, Ayunda.
Ketika
itu aku sempat yakin bahwa dia berubah karena sudah setahun lebih dia bagai
orang hilang dan sukses menjaga batasan komunikasi denganku. Maka, ketika ayah
berkata usai wisuda sebaiknya aku menikah, saat itu pulalah ia muncul kembali
memberanikan diri menghubungi keluargaku untuk melamar. Tentu niatan baiknya
itu disambut baik oleh keluargaku, sebab ia lelaki baik, juga hafiz 30 juz.
Awalnya, aku agak ragu karena pernah tak suka dengan caranya. Namun, karena dia
telah membuktikan setahun lebih tidak menggangguku dengan niat hanya akan
menghubungi lagi kalaulah tiba masa siap untuk melamar, maka aku memberinya
kesempatan.
Ternyata,
kau tahu apa yang kemudian terjadi, Yunda? Sebulan sebelum tanggal lamaran itu,
dia malah parah menggodaku. Bukan terpesona, namun aku semakin muak dengan
caranya. Entah bagaimana, langsung dengan cepat hasil istikharah lagi dan
diskusi dengan guru ngaji, aku mantap membatalkan rencana lamaran itu. Aku
menangis tersedu di telepon ketika menghubungi ayah dan ibu, aku bilang terus
terang bahwa aku tidak siap menikah, sebab ada keraguan dengan sifatnya yang
kebablasan melanggar hijab komunikasi.”
Ada
kekecewaan berwujud kaca-kaca air mata di pelupuk matanya yang kemudian tumpah
jua.
“Ikhlas
ya, Sayang. Aku tidak bisa membantu apa-apa, selain turut mendoakan semoga
adindaku yang salehah ini segera dipertemukan dengan yang jauh lebih baik
daripada lelaki terdahulu. Kau tahu? Seringkali, kita terjebak pada label atau
tampilan luar. Kita memandang ia adalah ikhwan aktivis dakwah, atau lulusan
pesantren, atau hafiz Quran. Siapa sangka, perilakunya justru berbeda dengan
simbol-simbol yang melekat pada dirinya, bisa saja. Kita memang sesama manusia,
tidak berhak menghakimi iman dan takwa seseorang, karena itu semata urusan
mereka dengan Yang Maha Kuasa. Namun, bukankah beratus tahun silam Baginda Rasulullah
saw telah bersabda, bahwa mukmin yang paling sempurna imannya ialah yang paling
baik akhlaknya, bahwa simbol-simbol relijius yang melekat pada seorang hamba
belum tentu menjamin kesalehannya? Lagipula, menikah bukan hanya urusan di
dunia saja kan, Adinda?” ujarku.
“Iya,
Yunda. Kini, aku tak peduli lagi dengan ucapan-ucapan sumbang di kanan-kiri.
Ada yang mengatakan aku perempuan yang terlalu pemilih dan angkuh. Ada yang
berlagak mengingatkan bahwa tiada manusia sempurna di dunia ini, begitu pun dia.
Ada yang berkoar bahwa aku tidak bersyukur, di luar sana banyak perempuan yang
masih lajang karena belum ada yang meminang, sedangkan aku malah menolak lelaki
yang hendak meminang. Sakit memang. Ah, sungguh mereka tak tahu apa-apa, Yunda.
Ini urusanku dengan Allah, hasil istikharahku yang terakhir mengatakan ‘tidak’.
Lantas,
bagaimana denganmu, Ayunda? Tidakkah semua peristiwa yang lalu itu begitu perih
untuk masih kau simpan di dalam ingatan?”
Aku
menghela nafas. Sungguh, ingatan itu masih sering berkelindan di ruang benak,
namun perih itu berangsur hilang berkat doa-doa penyembuh yang kupanjatkan.
“Sebagai
perempuan yang telah menjejak di usia dewasa pula, ayundamu ini tidak mau
sembarangan membuka pintu. Dulu-dulu itu, kau tahu, memang ada yang mendekat.
Telah berteman cukup lama, dan ia dulu juga seorang aktivis di lembaga dakwah
kampus yang sama. Namun, aku tidak menyangka ia seenaknya mendekat dengan cara
yang tidak sopan, seolah melecehkan. Ayunda tidak ingin terjebak pada label
atau simbol belaka, Dinda. Maka ketika seseorang yang baru itu datang setahun
kemudian, ketika aku tahu ia memang masih berusaha belajar dalam hijrahnya—yang
mungkin baru beberapa tahun belakangan, aku mempertimbangkan untuk menerimanya.
Awal-awalnya
ia memang datang dengan cara yang baik. Pria yang hanif, begitu
informasi yang kudapat tentangnya. Kami dijaga oleh sebuah proses yang memakai
perantara. Ada hijab komunikasi yang menyekat di antara kami, selain terkendala
jarak. Bagaimanapun, aku masih ingin menjaga batasan-batasan, karena belum
tentu segala proses itu akan berujung pada hari akad, sangat mungkin untuk
kandas begitu saja di tengah jalan. Kami tetaplah bukan siapa-siapa, meski
niatan untuk melangkah ke tahap yang lebih serius itu telah menjadi kesepakatan
bersama.”
“Sebab,
proses menjadi baik itu memang sepanjang hayat, setiap orang berhak menjadi
baik. Setiap orang memiliki jalan cinta yang tidak sama untuk mendekat kepada
Rabb-nya, tidak bisa dipukul rata. Siapa tahu setelah bersamamu kelak ia memang
benar-benar berubah menjadi semakin hanif. Jika ia memang bukan lelaki
baik, tentu ia tidak akan mencari perempuan salehah sepertimu, Yunda. Ia akan
mendekat dengan cara-cara tak baik dan mengajak pacaran seperti lelaki
kebanyakan. Lantas, bagaimana kelanjutannya?”
“Setelah
mempertimbangkan, kuyakinkan diri ini bahwa ialah orang yang tepat, usai ia
mengatakan telah mantap dan mampu menerimaku ketika itu. Ia juga mengutarakan
akan kesanggupan bersabar menunggu ayundamu yang masih belum selesai dengan
urusan studi dan belum memiliki pekerjaan ini. Kutolak tawaran demi tawaran
lain mengenai pinangan yang datang silih berganti, demi seorang yang tengah
berproses denganku ketika itu. Lantas, ada benih harapan yang perlahan tumbuh.
Ya, perempuan mana yang tidak memiliki harapan?
Adinda,
doaku di tiap penghujung salat memang tak pernah sekalipun menyebut namanya,
tak pernah meminta agar Allah melapangkan jalan kami hingga sampai hari
perjanjian kuat itu dibuat. Namun, doaku adalah, jika memang ia tertakdir
untukku, semoga Allah segera turun tangan, melancarkan segalanya dan menguatkan
langkah-langkah kami. Namun, jika tidak, semoga Allah segera menunjukkan
tanda-tanda-Nya, mohon dijauhkan dan digantikan dengan yang lebih baik menurut
versi-Nya.
Benarlah,
urusan semakin pelik dan rumit hingga rencana-rencana yang kami buat sebelumnya
tertunda dan tertunda. Jarak semakin merentang jauh. Dan ternyata, ia memang
tak mampu lebih bersabar lagi. Pun masih belum bisa meluruhkan ego dan emosi. Ah,
jangan-jangan juga belum bisa membedakan antara bersegera dengan
tergesa-tergesa. Bukankah tergesa-gesa itu muasalnya juga dari setan? Sedangkan
setiap pencapaian tentu menghajatkan kesabaran soal waktu dan keadaan, aku
menganggapnya sebagai sebentuk ujian yang memang harus dilalui. Namun, kalimat
tanyanya yang kuterima kemudian nyaris membuatku tersedak: mau dilanjutkan
atau tidak? Sementara aku memang tidak ingin menjilat ludah sendiri dengan
mundur begitu saja tanpa alasan yang pasti.
Ia
beralasan begini dan begitu mengapa kemudian jadi ragu terhadapku. Alasan yang
menurutku hanya sekadar dibikin-bikin untuk berkelit saja demi menghentikan
segala kerumitan ini. Yaa, semoga prasangkaku salah. Namun, seiring
keraguannya, semakin muncul pula keraguanku. Tanya yang dulu hanya mendekam,
belum menemukan jawaban yang terang, lantas hadir lagi: apakah dengan perilaku
yang sekarang ia tunjukkan mengindikasikan bahwa ia memang seorang yang
agamanya baik? Jika sekarang saja ia berani menatapku seperti itu, apakah
menjamin ia mampu menjaga pandangannya dari
perempuan lain setelah menikah nanti? Jika sekarang saja ia bisa berucap
seperti itu, apakah menjamin kelak ia mampu menjagaku untuk tetap berbakti
kepada pintu surgaku yang sebelumnya? Ah, aku tak ingin main-main dalam memilih
nakhoda, sebelum terlanjur berlayar di tengah samudra.
Usai
keraguan demi keraguan, usai mengadukan semuanya kepada Yang Maha Kuasa, usai
memohon supaya hati ini dilapangkan dan dikuatkan, meski sesak, kuputuskan
untuk mengakhiri proses itu saja. Melanjutkan hidup masing-masing, menjalani
takdir masing-masing. Bahwa mungkin Allah menghendaki masing-masing kami untuk
lebih mempersiapkan diri untuk siapapun nanti, selain seonggok niat yang
mungkin memang harus diluruskan dan diperbaiki. Bahwa cepat belum tentu
bermakna tepat.
Tetap
bersyukur dan berterima kasih atas apa yang telah terjadi, atas segenap
pelajaran berharga yang telah diberikan. Bahwa usai episode bernama ujian, usai
ikhlas yang harus senantiasa disemaikan, kita memiliki jiwa yang lebih lapang
dalam menapaki kehidupan, juga hati yang lebih kuat dan tabah menerima setiap
ketentuan. Berkali-kali jatuh bukan untuk melemahkan, namun menguatkan.
Ya,
kita hanya sedang belajar, Adinda. Belajar memunguti bermacam-macam hikmah yang
tersembunyi di tiap potongan kejadian.
Cinta itu menjaga, tergesa-gesa
itu nafsu belaka. Sedangkan cinta dan kehormatanmu sebagai seorang perempuan
terlalu mulia untuk dinodai dengan ketergesaan dalam melangkah, meski
langkah-langkah lelah itu pun tak lain adalah demi pemenuhan ibadah kepada Sang
Khalik. Tidakkah setan turut menjadi penyeling, jika kau memperturutkan
ketergesaan?
Cinta adalah menjaga apa
yang memang seharusnya dijaga, termasuk menjaga nyala ruh niat itu lurus
kepada-Nya. Cinta adalah menjaga kesabaran, sebab di dalamnya ada
kebaikan-kebaikan, ada pertolongan tuhan yang mungkin tak akan pernah engkau
sangka-sangka. Allah bersama siapa saja yang sabar, bukankah juga tak ada jalan
pintas dan gampang menuju surga-Nya?
Cinta adalah menjaga, pun
merawat apa atau siapa yang dicinta dengan kesungguhan. Ibarat mawar,
menyiraminya dengan ketulusan saban hari. Memberinya kehangatan cahaya namun
juga memberikan keteduhan. Memetik tangkai bunganya yang telah mekar mewangi
dengan hati-hati. Bahwa sang mawar memang terlampau berharga untuk dicerabut
paksa, sebab hanya akan melukai tangan pemetiknya.
Baik kau maupun dia
sama-sama tidak ada yang ingin terluka, bukan?
Jika kau ingin dipertemukan
dengan yang mampu menjagamu, jagalah apapun yang memang sepatutnya dijaga,
meski itu bukan perkara yang mudah dan sederhana.”
Ia tersenyum tipis.
Membenarkan lipatan kerudungnya, mengusap sisa-sisa linang yang mengaburkan
rona pipi merah jambunya. Air mata haru, lebih baik kusebut demikian.
“Kita adalah mawar-mawar mekar yang
tengah menunggu tangan terbaik untuk memetik dengan cara terbaik. Tentunya,
bukan sembarang tangan.”
Aku tersenyum, mengiyakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar