Sabtu, 02 April 2016

Mawar yang Terenggut dari Tangkainya




Lelaki tak pernah usai menebar bunga, namun menyayatkan luka pada akhirnya. Sementara perempuan berlebihan menimang harapan dan mimpi-mimpi tak pasti.

“Apakah selalu seperti itu, Yunda? Kenapa harus selalu perempuan yang menerima luka?”

Aku menggeleng perlahan. Tidak, Dinda. Tidak semua laki-laki berengsek, pun tak semua perempuan rapuh pula.

“Lantas?” Gadis berkerudung biru toska di sampingku membenarkan letak duduknya. Ada nada keresahan dalam sebilah tanya yang ia lontarkan.

“Kita hanya sedang tertatih belajar,” ucapku kemudian.

“Maksud Yunda?” Aku bergeming, sebelum kemudian ia melanjutkan kisahnya.

“Aih, tentu aku masih belum bisa lupa. Lelaki itu telah mengincarku sejak lama. Namun, sejak awal aku telah menegaskan kepadanya untuk menjaga hijab komunikasi di antara kami, kecuali dia memang telah benar-benar serius dan siap untuk melamarku. Kupegang janjinya untuk itu dan kulihat pula bagaimana ia konsisten dengan ucapannya. Setahun berlalu dan ia memegang janjinya untuk tetap menjaga. Hingga aku menamatkan kuliahku dan diwisuda, ketika itulah ia mulai mendekatiku lagi, mengatakan bahwa ia serius dan siap untuk melamarku. Orang tuaku memang mengharapkanku segera menikah usai wisuda, Yunda. Lantas, orang tua mana yang tidak berbunga hatinya mengetahui pria yang datang berniat meminang putrinya adalah seorang hafiz Quran? Aku maupun ayah-ibu tidak sedikit pun meragukan keluasan pengetahuan agamanya. Insya Allah dia mampu menjadi imam yang baik kelak dalam rumah tangga. Baiklah, akhirnya ia berencana melamarku dua bulan kemudian, dengan konsep akhir tahun akad nikah kemudian resepsi digelar di awal tahun berikutnya.”

Ada jeda sebelum ia melanjutkan kisahnya. Aku bersiap mendengarkan kembali dengan seksama.

“Namun, itulah kuasa Allah, Yunda. Adindamu ini benar-benar tidak ingin memiliki sejarah kotor dalam mencapai mahligai rumah tangga. Lelaki itu ternyata tidak sabaran. Dia terus saja menghubungiku dengan gaya bahasa yang tak ubahnya seperti lelaki kebanyakan. Padahal, dulu-dulu aku menjauhinya sebab ia juga tak bisa menjaga hijab komunikasi. Awalnya ia memang berubah, namun muncul lagi dengan gaya yang seolah tak ada wujud perubahan itu, Ayunda.

Ketika itu aku sempat yakin bahwa dia berubah karena sudah setahun lebih dia bagai orang hilang dan sukses menjaga batasan komunikasi denganku. Maka, ketika ayah berkata usai wisuda sebaiknya aku menikah, saat itu pulalah ia muncul kembali memberanikan diri menghubungi keluargaku untuk melamar. Tentu niatan baiknya itu disambut baik oleh keluargaku, sebab ia lelaki baik, juga hafiz 30 juz. Awalnya, aku agak ragu karena pernah tak suka dengan caranya. Namun, karena dia telah membuktikan setahun lebih tidak menggangguku dengan niat hanya akan menghubungi lagi kalaulah tiba masa siap untuk melamar, maka aku memberinya kesempatan.

Ternyata, kau tahu apa yang kemudian terjadi, Yunda? Sebulan sebelum tanggal lamaran itu, dia malah parah menggodaku. Bukan terpesona, namun aku semakin muak dengan caranya. Entah bagaimana, langsung dengan cepat hasil istikharah lagi dan diskusi dengan guru ngaji, aku mantap membatalkan rencana lamaran itu. Aku menangis tersedu di telepon ketika menghubungi ayah dan ibu, aku bilang terus terang bahwa aku tidak siap menikah, sebab ada keraguan dengan sifatnya yang kebablasan melanggar hijab komunikasi.”

Ada kekecewaan berwujud kaca-kaca air mata di pelupuk matanya yang kemudian tumpah jua.

“Ikhlas ya, Sayang. Aku tidak bisa membantu apa-apa, selain turut mendoakan semoga adindaku yang salehah ini segera dipertemukan dengan yang jauh lebih baik daripada lelaki terdahulu. Kau tahu? Seringkali, kita terjebak pada label atau tampilan luar. Kita memandang ia adalah ikhwan aktivis dakwah, atau lulusan pesantren, atau hafiz Quran. Siapa sangka, perilakunya justru berbeda dengan simbol-simbol yang melekat pada dirinya, bisa saja. Kita memang sesama manusia, tidak berhak menghakimi iman dan takwa seseorang, karena itu semata urusan mereka dengan Yang Maha Kuasa. Namun, bukankah beratus tahun silam Baginda Rasulullah saw telah bersabda, bahwa mukmin yang paling sempurna imannya ialah yang paling baik akhlaknya, bahwa simbol-simbol relijius yang melekat pada seorang hamba belum tentu menjamin kesalehannya? Lagipula, menikah bukan hanya urusan di dunia saja kan, Adinda?” ujarku.

“Iya, Yunda. Kini, aku tak peduli lagi dengan ucapan-ucapan sumbang di kanan-kiri. Ada yang mengatakan aku perempuan yang terlalu pemilih dan angkuh. Ada yang berlagak mengingatkan bahwa tiada manusia sempurna di dunia ini, begitu pun dia. Ada yang berkoar bahwa aku tidak bersyukur, di luar sana banyak perempuan yang masih lajang karena belum ada yang meminang, sedangkan aku malah menolak lelaki yang hendak meminang. Sakit memang. Ah, sungguh mereka tak tahu apa-apa, Yunda. Ini urusanku dengan Allah, hasil istikharahku yang terakhir mengatakan ‘tidak’.

Lantas, bagaimana denganmu, Ayunda? Tidakkah semua peristiwa yang lalu itu begitu perih untuk masih kau simpan di dalam ingatan?”

Aku menghela nafas. Sungguh, ingatan itu masih sering berkelindan di ruang benak, namun perih itu berangsur hilang berkat doa-doa penyembuh yang kupanjatkan.

“Sebagai perempuan yang telah menjejak di usia dewasa pula, ayundamu ini tidak mau sembarangan membuka pintu. Dulu-dulu itu, kau tahu, memang ada yang mendekat. Telah berteman cukup lama, dan ia dulu juga seorang aktivis di lembaga dakwah kampus yang sama. Namun, aku tidak menyangka ia seenaknya mendekat dengan cara yang tidak sopan, seolah melecehkan. Ayunda tidak ingin terjebak pada label atau simbol belaka, Dinda. Maka ketika seseorang yang baru itu datang setahun kemudian, ketika aku tahu ia memang masih berusaha belajar dalam hijrahnya—yang mungkin baru beberapa tahun belakangan, aku mempertimbangkan untuk menerimanya.

Awal-awalnya ia memang datang dengan cara yang baik. Pria yang hanif, begitu informasi yang kudapat tentangnya. Kami dijaga oleh sebuah proses yang memakai perantara. Ada hijab komunikasi yang menyekat di antara kami, selain terkendala jarak. Bagaimanapun, aku masih ingin menjaga batasan-batasan, karena belum tentu segala proses itu akan berujung pada hari akad, sangat mungkin untuk kandas begitu saja di tengah jalan. Kami tetaplah bukan siapa-siapa, meski niatan untuk melangkah ke tahap yang lebih serius itu telah menjadi kesepakatan bersama.”

“Sebab, proses menjadi baik itu memang sepanjang hayat, setiap orang berhak menjadi baik. Setiap orang memiliki jalan cinta yang tidak sama untuk mendekat kepada Rabb-nya, tidak bisa dipukul rata. Siapa tahu setelah bersamamu kelak ia memang benar-benar berubah menjadi semakin hanif. Jika ia memang bukan lelaki baik, tentu ia tidak akan mencari perempuan salehah sepertimu, Yunda. Ia akan mendekat dengan cara-cara tak baik dan mengajak pacaran seperti lelaki kebanyakan. Lantas, bagaimana kelanjutannya?”

“Setelah mempertimbangkan, kuyakinkan diri ini bahwa ialah orang yang tepat, usai ia mengatakan telah mantap dan mampu menerimaku ketika itu. Ia juga mengutarakan akan kesanggupan bersabar menunggu ayundamu yang masih belum selesai dengan urusan studi dan belum memiliki pekerjaan ini. Kutolak tawaran demi tawaran lain mengenai pinangan yang datang silih berganti, demi seorang yang tengah berproses denganku ketika itu. Lantas, ada benih harapan yang perlahan tumbuh. Ya, perempuan mana yang tidak memiliki harapan?

Adinda, doaku di tiap penghujung salat memang tak pernah sekalipun menyebut namanya, tak pernah meminta agar Allah melapangkan jalan kami hingga sampai hari perjanjian kuat itu dibuat. Namun, doaku adalah, jika memang ia tertakdir untukku, semoga Allah segera turun tangan, melancarkan segalanya dan menguatkan langkah-langkah kami. Namun, jika tidak, semoga Allah segera menunjukkan tanda-tanda-Nya, mohon dijauhkan dan digantikan dengan yang lebih baik menurut versi-Nya.

Benarlah, urusan semakin pelik dan rumit hingga rencana-rencana yang kami buat sebelumnya tertunda dan tertunda. Jarak semakin merentang jauh. Dan ternyata, ia memang tak mampu lebih bersabar lagi. Pun masih belum bisa meluruhkan ego dan emosi. Ah, jangan-jangan juga belum bisa membedakan antara bersegera dengan tergesa-tergesa. Bukankah tergesa-gesa itu muasalnya juga dari setan? Sedangkan setiap pencapaian tentu menghajatkan kesabaran soal waktu dan keadaan, aku menganggapnya sebagai sebentuk ujian yang memang harus dilalui. Namun, kalimat tanyanya yang kuterima kemudian nyaris membuatku tersedak: mau dilanjutkan atau tidak? Sementara aku memang tidak ingin menjilat ludah sendiri dengan mundur begitu saja tanpa alasan yang pasti.

Ia beralasan begini dan begitu mengapa kemudian jadi ragu terhadapku. Alasan yang menurutku hanya sekadar dibikin-bikin untuk berkelit saja demi menghentikan segala kerumitan ini. Yaa, semoga prasangkaku salah. Namun, seiring keraguannya, semakin muncul pula keraguanku. Tanya yang dulu hanya mendekam, belum menemukan jawaban yang terang, lantas hadir lagi: apakah dengan perilaku yang sekarang ia tunjukkan mengindikasikan bahwa ia memang seorang yang agamanya baik? Jika sekarang saja ia berani menatapku seperti itu, apakah menjamin ia mampu menjaga pandangannya dari  perempuan lain setelah menikah nanti? Jika sekarang saja ia bisa berucap seperti itu, apakah menjamin kelak ia mampu menjagaku untuk tetap berbakti kepada pintu surgaku yang sebelumnya? Ah, aku tak ingin main-main dalam memilih nakhoda, sebelum terlanjur berlayar di tengah samudra.

Usai keraguan demi keraguan, usai mengadukan semuanya kepada Yang Maha Kuasa, usai memohon supaya hati ini dilapangkan dan dikuatkan, meski sesak, kuputuskan untuk mengakhiri proses itu saja. Melanjutkan hidup masing-masing, menjalani takdir masing-masing. Bahwa mungkin Allah menghendaki masing-masing kami untuk lebih mempersiapkan diri untuk siapapun nanti, selain seonggok niat yang mungkin memang harus diluruskan dan diperbaiki. Bahwa cepat belum tentu bermakna tepat.

Tetap bersyukur dan berterima kasih atas apa yang telah terjadi, atas segenap pelajaran berharga yang telah diberikan. Bahwa usai episode bernama ujian, usai ikhlas yang harus senantiasa disemaikan, kita memiliki jiwa yang lebih lapang dalam menapaki kehidupan, juga hati yang lebih kuat dan tabah menerima setiap ketentuan. Berkali-kali jatuh bukan untuk melemahkan, namun menguatkan.

Ya, kita hanya sedang belajar, Adinda. Belajar memunguti bermacam-macam hikmah yang tersembunyi di tiap potongan kejadian.

Cinta itu menjaga, tergesa-gesa itu nafsu belaka. Sedangkan cinta dan kehormatanmu sebagai seorang perempuan terlalu mulia untuk dinodai dengan ketergesaan dalam melangkah, meski langkah-langkah lelah itu pun tak lain adalah demi pemenuhan ibadah kepada Sang Khalik. Tidakkah setan turut menjadi penyeling, jika kau memperturutkan ketergesaan?

Cinta adalah menjaga apa yang memang seharusnya dijaga, termasuk menjaga nyala ruh niat itu lurus kepada-Nya. Cinta adalah menjaga kesabaran, sebab di dalamnya ada kebaikan-kebaikan, ada pertolongan tuhan yang mungkin tak akan pernah engkau sangka-sangka. Allah bersama siapa saja yang sabar, bukankah juga tak ada jalan pintas dan gampang menuju surga-Nya?

Cinta adalah menjaga, pun merawat apa atau siapa yang dicinta dengan kesungguhan. Ibarat mawar, menyiraminya dengan ketulusan saban hari. Memberinya kehangatan cahaya namun juga memberikan keteduhan. Memetik tangkai bunganya yang telah mekar mewangi dengan hati-hati. Bahwa sang mawar memang terlampau berharga untuk dicerabut paksa, sebab hanya akan melukai tangan pemetiknya.
Baik kau maupun dia sama-sama tidak ada yang ingin terluka, bukan?

Jika kau ingin dipertemukan dengan yang mampu menjagamu, jagalah apapun yang memang sepatutnya dijaga, meski itu bukan perkara yang mudah dan sederhana.”

Ia tersenyum tipis. Membenarkan lipatan kerudungnya, mengusap sisa-sisa linang yang mengaburkan rona pipi merah jambunya. Air mata haru, lebih baik kusebut demikian.

“Kita adalah mawar-mawar mekar yang tengah menunggu tangan terbaik untuk memetik dengan cara terbaik. Tentunya, bukan sembarang tangan.”

Aku tersenyum, mengiyakan.  

Tidak ada komentar: