Sabtu, 09 April 2016

Bonbin



Oleh: Lia Wibyaninggar


Bonbin. Bukanlah akronim dari “Kebon Binatang”. Bukan sama sekali. Layaknya kisah dalam drama The Zoo Story karangan Edward Albee, kau akan terkecoh lantaran tak menemukan satu pun binatang diceritakan di sana. Ya, zoo dalam kisah itu hanyalah metafor tentang kehidupan manusia yang terkerangkeng, tak ubahnya binatang dalam kandang. Terpenjara, tak bisa leluasa.
Sebelumnya aku hanya mengenal satu “Bonbin” di kota ini, namanya Gembira Loka. Terakhir kali aku ke sana waktu masih SD kelas lima. Ah, aku sudah lupa bagaimana pemandangan di sana, tentu sudah berubah banyak. Sepuluh tahun berselang, dan aku kembali lagi ke kota indah ini, sebagai mahasiswi. Bukan tujuan utamaku untuk mejelajah setiap detail kota ini, apalagi reuni dengan Gembira Loka—di mana aku pernah dengan sialnya hampir digigit kera gara-gara aku tidak memberinya kacang goreng yang kubawa. Aku hanya ingin belajar dengan tenang di sini, belajar sastra dan rupa-rupa bahasa di dunia. Menimba ilmu, bukan hanya menuntut ilmu. Sebab pada dasarnya, ilmu sama sekali tidak bersalah, kenapa harus kutuntut?
Sampeyan[1] mau jadi apa? Sastrawan, seniman gendheng[2]?” katanya suatu ketika. Membuatku seketika meraih pisang rebus di atas piring yang dihidangkan emakku buat kami berdua, mengupas kulitnya, dan mencaploknya dengan perasaan kesal bergumpal-gumpal. Ingin rasanya kutabok muka lelaki di hadapanku ini kalau saja aku bukan lagi gadis desa yang tak tahu etika. Ya, aku tahu maksudnya. Pacarku itu ingin kami cepat-cepat menikah setelah aku lulus SMA. Seperti adat orang-orang di desa ini, lulus SMA sudah saatnya membina rumah tangga. Oleh karena itu dia keberatan jika aku kuliah, apalagi di tempat yang notabene jauh sekali dari kampung halaman. Aku tinggal di kaki Gunung Wilis, Kota Gudeg tentulah bermil-mil jauhnya dari sini.
Mbok ya ngambil kedokteran kek, atau kesehatan gitu, Lin. Desa kita ini masih butuh banyak tenaga medis lho.” Ngeles. Aku sudah bosan dengan bujuk rayunya. Justru dengan mempelajari bahasa, aku bisa membantu mengembangkan desa ini dalam berbagai bidang, menurutku. Pokoknya aku ingin menjelajah dunia, itu artinya aku harus belajar bahasa. Aku ingin meraih cita-cita yang kurajut dengan tanganku sendiri. Dia terus mengoceh sepanjang waktu kencan kami di serambi rumah waktu itu, aku tak hirau akan semua itu. Hanya diam. Melamun justru lebih penting daripada mendengarkan bualannya.
“Lin, jadi keputusannya bagaimana? Kau mau menerima saranku, kan?”
Aku menatap persis matanya, dan tanpa ragu kuucapkan, “KITA PUTUS!”
***

Sekarang aku benar-benar menginjakkan kaki di sini. Sebagai mahasiswi Fakultas Sastra. Di kampus sastra ini ada komunitas pecinta puisi, dan di sanalah aku terjun kemudian: Sanggar Bambu. Kami latihan tiap usai magrib hingga larut. Bahkan aku sering numpang tidur di sekre Mapala.
Seperti yang sudah kuceritakan di awal, di sini ada “Bonbin”—bukan kebon binatang. Itu tempat favoritku nongkrong sehari-hari bersama kawan-kawan sanggar. Menuntaskan hasrat lapar dan haus, dengan harga yang sangat terjangkau bagi mahasiswa seperti kami. Ngobrol berlama-lama, menertawakan hidup. Tak jarang asap rokok melayang-layang membuat pengap tempat ini. Namun, sorry saja, aku pantang merokok—apalagi nge-drugs. Meski aku bukan lagi gadis desa yang lugu dengan rambut berkepang dua. Celana jins belel, sandal jepit, rambut potongan laki-laki, aku ke kampus seperti itu, tak masalah. Ternyata ada yang lebih parah daripada aku. Aku sering menemui gadis itu, yang juga suka makan di kantin ini. Dia berkerudung, tapi nggilani[3]—bibirnya yang bergincu ungu dengan santainya mengepul-ngepulkan asap rokok. Ora nduwe isin babar pisan[4]. Di sisi lain, sering ada mbak-mbak bercadar hitam-hitam beli siomay, dibungkus. Mana mungkin dia makan di sini? Potret manusia yang penuh rasa malu. Ah, paradoks.
Paradoks lain yang kutemui: banyak sekali pengemis berkeliaran di kantin ini. Macam-macam style-nya. Mulai dari nenek-nenek, ibu-ibu, anak kecil, bapak-bapak yang agak sinting, blablabla... Pengamen juga tak mau kalah. Umumnya pengamen yang mampir di sini orang-orang tua, mendendangkan lagu Jawa yang bahkan aku tak mengerti liriknya. Paradoks, sebab lingkungan di sini adalah lingkungan akademisi, calon sarjana, calon doktor, calon profesor. Sementara pengemis-pengamen itu, mengenyam pendidikan dasar saja, mungkin tidak. Aku masih jauh lebih beruntung dari mereka, meskipun aku wong ndeso[5].
Ada banyak versi mengapa kantin ini dijuluki “Bonbin”, padahal sudah jelas plang di depan bertuliskan “Kantin Humaniora Mandiri”. Letaknya persis di tepi jalan Sosio-Humaniora, di samping Fakultas Sastra, di depan Fakultas Ekonomi. Karena begitu terbuka, mungkin itu sebabnya kantin ini banyak didatangi orang dari luar, tak terkecuali pengemis-pengamen yang tiap hari ngantor di sini. Versi satu, dijuluki “Bonbin”, sebab dulu sebelum direnovasi, kantin ini masih memiliki pembatas, yang jika orang memandang dari luar akan tampak seperti kandang, ditambah ketawa-ketiwi ngakak orang-orang yang nongkrong di sini, seperti hewan di dalam kandang kebon binatang. Versi dua, “Bonbin” adalah akronim dari Kebon Bintang, pasalnya dulu sebelum direnovasi, tempat ini masih belum beratap seperti sekarang, jadi jika malam tiba, tampaklah bintang-bintang bertebaran di langit. Ada juga yang bilang, disebut Kebon Bintang sebab tempat ini, fakultas ini notabene adalah asal-muasal lahirnya orang-orang ternama. Sebut saja, Sapardi Djoko Damono dan W. S. Rendra, dewa puisi yang bersinar bak gemintang di jagad sastra Indonesia. Dan mungkin, masih ada versi-versi yang lain yang aku tak tahu menahu tentang sebutan Bonbin.
Kebon Bintang. Sungguh, membuatku ingat dengan namaku sendiri, Lintang Nur Laili. Bapak yang mewariskan nama itu kepadaku. Katanya dulu ketika kelahiranku, Bapak melihat lintang kemukus[6] malam hari, indah sekali. Sebuah harap juga bersemi, bahwa anaknya kelak akan “bercahaya” di mata dunia, membuat sesuatu yang bisa dibanggakan orang tua. Sudahkah? Duhai, berat sekali tuntutan itu. Ya, aku lintang, namun masihlah lintang yang redup.
Kubaca ulang puisi Sapardi Djoko Damono bertitel Hatiku Selembar Daun itu. Pekan depan ada malam pementasan budaya, sanggar kami ikut andil, tampil dalam pementasan itu. Kami membawakan puisi ini bertiga, kolaborasi dengan musik dari anak-anak orkestra fakultas sebelah. 

hatiku selembar daun melayang jatuh di rumput;
nanti dulu, biarkan aku sejenak terbaring di sini;
ada yang masih ingin kupandang, yang selama ini senantiasa luput;
sesaat adalah abadi sebelum kausapu tamanmu setiap pagi.[7]

“Sudah selesai berlatihnya, Lin?”
Kuangkat wajahku menatap orang yang menegurku itu. Ah, selalu. Dia bicara dengan tembok, atau terkadang dengan benda-benda lain di ruangan ini, bukan dengan manusia yang dia ajak bicara.
“Sudah,” jawabku malas.
“Ya sudah. Kalau begitu, kita akhiri latihan kita hari ini ya. Wassalamu’alaikum warahmatullah!
Wa’alaikumussalam.  Koor yang lain—termasuk aku.
Angkasa. Sosok paling ‘nyentrik’ di komunitas ini. Dari namanya saja sudah unik. Angkasa. Barangkali dia berasal dari luar angkasa, nyasar ke sini. Ikut nimbrung bersama kami—para penyair edan. Hahaha. Ketika yang lain pakai jins belel bolong-bolong, dia malah rapi jali pakai celana bahan di atas mata kaki. Ketika yang lain rambutnya gondrong macam semak-semak, dia justru klimis macam mau lamaran. Dan aku paling jengah jika dia ogah menatap mata lawan bicaranya, terlebih kepada cewek macam aku. Dia lebih suka puisi-puisi religi kepunyaan Taufiq Ismail, daripada romantisme puisi Rendra. Dia pegiat organisasi keislaman di kampus ini. Dia.... Ah! Kenapa aku jadi membahas dia?
Hari ini mulai bulan puasa. Tapi aku tidak berpuasa. Lagi M, malas.
“Saya usul, selama Ramadan latihan kita siang saja ya, malam waktunya beribadah,” seloroh Angkasa.
“Malam tak masalah sebenarnya, lha itu yang pada latihan buat persiapan OSPEK mahasiswa juga malam, sampai tengah malam pula,” Rudi menimpali.
Ah ya, sebenarnya kami sudah sama-sama tahu tentang latihan persiapan OSPEK tak penting itu, yang diwarnai dengan pesta alkohol, kadang kekerasan fisik. Tradisi di kampus ini dari jaman bahuela. Tentu saja sanggar kami tidak seperti mereka. Apalagi ini bulan suci Ramadan, di mata Angkasa tentu hal itu sangat ‘memuakkan’.
“Itu urusan mereka dengan Allah, Rud. Kalau kita masih memuliakan bulan ini, kita takkan menghabiskan malam dengan latihan, tapi tadarusan. Fahimtum? Mengerti?”
“Iya, Pak Ustaz! Fahimna! Mengerti,” koor yang lain berbarengan. Aku tersenyum dikulum. Dia memang sering menularkan bahasa planet-nya kepada kami.
 “Lho, kamu bukannya ikut divisi P3K ya, Ang? Otomatis kamu ikut mengawasi latihan OSPEK mereka tiap malam, ya kan?” Saras tiba-tiba bertanya.
Yang ditanya hanya mengangguk, lantas tersenyum, entah maksudnya apa. Apaan? Dasar manusia sok misterius. Alien dari planet seberang.
“SKIS punya program apa bulan ini?” Sekarang giliran aku yang bertanya. Aku tahu soal SKIS. Sie Kerohanian Islam Sastra. Dia sering promosi soal SKIS kepada kami-kami ini.
“Ramadan di Fakultas, Lin. Salah satu acaranya ada Semarak Jilbab dan Koko. Nanti dapat bonus deh kalau pake jilbab buat yang cewek, dan pake koko buat yang cowok.”
Aku mengacak rambut jabrikku. Boro-boro memakai kerudung. Dia sungguh-sungguh menyindirku. Asem! Namun, seketika terbit malu di hatiku.
“Tuh, kamu disuruh pakai jilbab sama Pak Ustaz, Lin. Ntar kalau beneran, pasti langsung dihadiahi lamaran deh.” Rudi nyengir kuda, disambut gelak tawa yang lain. Anak-anak ini sialan! Apa-apaan mereka?! Sementara Angkasa langsung ngeloyor pergi setelah berucap salam.
***

Sejak dulu, kampus sastra dikenal dengan mahasiswa-mahasiswa hedonis yang suka berpesta malam-malam, tak jarang mabuk-mabukan. Stigma yang sudah terstempel dan susah dihilangkan. Namun susah bukan berarti tidak mungkin.
Sekarang aku semester tiga. Sedikit-banyak tahu tentang keadaan kampus tempatku menimba ilmu. Dua kubu yang bertolak belakang itu belakangan semakin memanas pertarungannya. Lihat saja, kubu kiri yang habis-habisan mengkader aktivisnya dengan persiapan OSPEK penuh kekerasan dan pesta minuman di malam Ramadan, sementara kubu kanan—para aktivis musala yang berjuang memerangi itu semua. Siapa yang bakal menang, aku tak tahu. Tapi, bukankah kebenaran selalu menang? Kisah klasik jaman kanak-kanak. Bukankah Power Ranger selalu menang melawan Monster? Lantas, aku berada di kubu yang mana? Kubu apatis, mungkin iya. Namun bukan berarti aku menarik diri dari kenyataan-kenyataan yang ada.
Ah, pertarungan ideologis yang mewarnai dunia kampus ini, pusing rasanya mencerna itu semua. Jika tak hati-hati, bisa saja terjerumus. Segala kemungkinan bisa terjadi di sini. Yang jahat bisa berubah jadi malaikat. Yang baik bisa menjadi jahat. Yang baik, bisa menjadi lebih baik juga. Yang jahat, bisa jadi lebih beringas juga. Entahlah, setidaknya aku ada di jalur tengah. Alim tidak, jahat juga tidak. Hidupku sekarang adalah kuliah dan berpuisi, memastikan Sanggar Bambu akan selalu eksis di kampus sastra ini.
Esoknya teman-teman sanggar mengajakku ke rumah sakit.
“Pak Ustaz opname,” Ardan memberitahuku. Oya? Sakit apa tuh orang?
***

Ruangan bertirai putih itu sebelumnya sesak oleh pengunjung, mayoritas laki-laki, modelnya setipe dengan Angkasa. Teman-teman musala-nya barangkali. Ada juga beberapa yang perempuan, berjilbab panjang semuanya.
“Woy! Kok bisa sih, Ang? Kamu ini divisi P3K yang ngurusin orang cedera, kok kamu yang malah bonyok? Hahaha.” Rudi masih sempat-sempatnya berkelakar.
“Oh iya! Sampai lupa bilang, assalamu’alaikum!” lanjutnya, yang langsung kami jawab bersama disertai tawa yang membuncah.
“Panjang ceritanya, Rud. Semalam ada yang mabuk. Aku sudah tidak mau berdiam diri dengan keadaan ini lagi. Ramadan, kawan. Pantaskah bulan suci diwarnai dengan kemaksiatan? Tapi pemabuk itu malah membanting botol minumannya, pelipisku kena pecahannya.”
Aih... Sekarang aku yang memalingkan wajah darinya. Ngeri melihat wajah trouble-nya yang habis dijahit.
Get well soon, Bro. Nggak ada kamu, Sanggar Bambu bakal nggak rame. Nggak ada alien di sana! Huahaahaa.” Aku menyikut Rudi, ia lantas terdiam.
“Eh, ada titipan buat kamu, Lintang.” Seperti biasa, Angkasa bicara kepadaku, tapi matanya mengarah ke Rudi atau Ardan. Ghad... Ghadul apa namanya?
Kado? Aku kan tidak sedang berulang tahun.
“Dari siapa?” tanyaku kemudian.
“Mbak Rahmi. Tadi sebelum pulang dari sini, beliau nitip ini buat Lintang.”
Mbak Rahmi, kakak mentoringku dulu di Asistensi Agama Islam ketika semester satu. Ah ya, Angkasa dan Mbak Rahmi sama-sama aktivis musala.
“Yaaahh, kukira tadi itu kado dari Pak Ustaz buat anak ini...” Rudi mendesah kecewa sambil telunjuknya mengarah kepadaku. Kali ini kucubit dia. Disusul tawa orang-orang seisi ruangan. Ah, aku ingin pulang. Takut jika mukaku berubah merah bak kepiting rebus.
***

Ah, aku mendesah resah. Kampusku gelap. Kampusku pekat. Tiada satu gemintang pun di sana. Hanya awan hitam bergerak perlahan. Mengungkung langitnya dengan kejam, dan sebentar lagi air bah akan tumpah. Membinasakan kebatilan. Kemudian yang tersisa hanyalah kebenaran.
Kubuka pemberian dari Mbak Rahmi yang dibungkus apik dengan kertas kado itu. Kain segi empat berwarna kuning gading. Jilbab?
Waktu berjalan dan sebentar lagi habislah Ramadan. Aku puasa tapi bolong-bolong. Biarlah. Lintang masih belajar. Ada kabar mengejutkan yang kuterima dan menjadi berita hangat di fakultas ini. Kabar perubahan.
“Mari kita ucapkan selamat tinggal kepada tradisi tolol jaman bahuela.”
What’s up?” aku mengernyitkan dahi mendengar celoteh Ardan usai kami latihan sore itu.
“Baca saja.” Lelaki bertubuh gempal itu lantas mengangsurkan beberapa lembar kertas kepadaku. Surat? Aku semakin tak paham.
Surat keputusan dari dekanat. Isinya melarang segala bentuk tindakan kriminal di kampus. Mulai sekarang, tiap malam akan ada razia di titik-titik tertentu. Jika diketahui ada barang seperti botol minuman, kondom, suntikan, dan semacamnya, mahasiswa yang bersangkutan akan dikenai sanksi yang berat. Jam malam pun diberlakukan. Kalaupun ada kegiatan harus dengan izin tertulis dari fakultas, penginap ilegal di kampus juga akan dikenai sanksi.
“Dapat dari mana?” tanyaku.
“Angkasa. Selama ini mereka berjuang, dan hasilnya lihatlah, memuaskan sekali.”
“Mereka?” tanyaku lagi.
“Maksudku, kubu kanan.”
Apa kubilang? Power Ranger pasti mengalahkan Monster. Aku tersenyum dalam hati. Meski sempat terbersit pemikiran bahwa belum tentu juga peraturan bikinan dekanat itu akan menghapus seratus persen “keburukan” itu.
“Sekarang Angkasa di mana? Kan kita mau latihan puisi baru.” Aku baru menyadari jika alien yang biasanya kami sapa Pak Ustaz itu tak nongol beberapa hari ini.
Rudi terdiam sesaat. “Errr… Mungkin ada agenda SKIS, dia kan sering begitu. Sudahlah, kita latihan tanpa dia juga tak masalah kan?”
Aku mengangguk, meski ada perasaan entahlah yang mengganjal sesorean itu.

akulah si telaga: berlayarlah di atasnya;
berlayarlah menyibakkan riak-riak kecil yang menggerakkan bunga-bunga padma;
berlayarlah sambil memandang harumnya cahaya;
sesampai di seberang sana, tinggalkan begitu saja
-- perahumu biar aku yang menjaganya[8]

Puisi cinta! Bah, apa itu cinta? Sejak kuputuskan pacarku waktu itu, aku tak pernah berpacaran lagi. Apa urgensinya? Hanya menyita waktu, menyita perasaan. Lantas, rasa ini buat siapa? Ketika muncul lagi riak-riak kecil yang menggerakkan bunga-bunga padma di hatiku. Apakah aku...? Ah, tidak, dia terlalu sulit, terlalu melangit. Alangkah sukarnya menjadi bintang kejora yang benderang di angkasa raya, sebab hingga kini, aku masihlah bintang yang redup, yang kehilangan cahaya-Nya.
***

Langit malam ini bersih. Bulan utuh sintal bersinar dengan pongah di atas sana, gemerlap bintang menyemarakkan langit. Jika aku boleh memberi stigma, maka kampusku perlahan sudah benderang lagi. Banyak bintang bertabur di sana, memancarkan cahayanya. Merekalah yang seharusnya disebut bintang-bintang itu: orang-orang di jalur kebaikan, yang memperjuangkan kebenaran.
Sejenak kemudian aku teringat akan kain segi empat pemberian Mbak Rahmi. Ragu kutatap cermin, lantas mengenakannya dengan agak susah-payah. Sreeet... Jadilah! Aduhai, warna kuning gadingnya cocok dengan kulit langsatku. Senyum tak bisa kutahan di depan cermin itu. Laiknya orang gila, senyum-senyum sendirian di depan kaca.
***

Assalamu’alaikum… Lintang?” suara lembut yang kukenal itu mendadak intonasinya berubah, terperanjat begitu melihatku. Ya, aku yang mengajaknya janjian bertemu di taman ini, salah satu sudut eksotis di kampus kami. Bukan, kami bukan akan nge-date.
Subhanallah…” ucapnya, masih tak habis pikir dengan penampilanku.
Anyway, terima kasih banyak atas hadiahnya, Mbak…”
“Jadi, kau pengen pamer ini to?” Mbak Rahmi tersenyum dikulum.
“Lebih dari itu,” ucapku lirih. “Mbak, mau membimbing Lintang lagi? Follow up dari yang dulu. Belajar ngaji, belajar Islam, belajar tentang keadaan kampus ini juga. Mbak mengenalkanku kepada banyak hal. Sekarang, setelah aku mengetahui dinamika kehidupan di kampus kita, aku hanya tak ingin aku berbelok semakin jauh. Aku bukanlah lintang sesuai namaku, orang-orang seperti Mbak inilah yang kuanggap bintang. Fluoresen[9], memantulkan cahaya dari matahari ke bumi. Anggaplah aku buminya, Mbak.”
Mbak Rahmi tergugu. Senyumnya tetap tak lepas dari bibir mungilnya.
“Ah, aku ingat dulu kau sering bilang begini ke aku ketika kita mentoring, ‘Mbak, ceramahnya udah, belum? Saya mau pulang. Ngantuk.’ Hehe. Teman-temanmu taat dengan jilbabnya, kau masih saja bangga pakai you-can-see. Tapi itu kuanggap sebagai tantangan, kondisi obyek dakwah memang berbeda-beda. Contohnya seperti kamu ini. Tapi masalah hidayah tetap urusan Allah. Unexpected. Apakah aku mau membimbingmu lagi, Lin? Tentu saja. Ijinkan Mbak Rahmi menjadi sahabat bagimu.
Kupeluk ia. Erat. Sudah lama aku tidak merasakan dekapan hangat seorang kakak. Dalam hati kugumamkan sebarisan doa, doakan biar aku tetap istikamah, Mbak. Aku ingin bergabung bersama kalian. Merasakan apa yang pernah kau sebut sebagai indahnya ukhuwah.
Mbak Rahmi tersenyum lagi. Tangannya membenahi kerudungku yang masih morat-marit[10]. Aku menahan tawa. Ini masih percobaan sih, Mbak.
“Darussalam, sebuah negeri di surga. Ada selaksa keindahan di sana. Kita tak pernah bisa membayangkan indahnya. Ingin rasanya keindahan itu tertular kemari, meski setetes. Namun, keindahan itu harus diupayakan, Lin. Tidak serta-merta.”
Ujung jilbab panjang Mbak Rahmi anggun tertiup angin sepoi yang melintas. Ya, aku tahu. Perlu proses panjang untuk mencicip keindahan itu di negeri ini, di kampus ini. Aku lantas teringat tempat nongkrongku sehari-hari, menuntaskan hasrat lapar dan haus, dengan harga yang sangat terjangkau itu. Kebon Bintang, julukan yang unik. Bisa jadi julukan itu benar adanya. Sebab aku tahu, kampusku berisikan banyak sekali orang-orang yang bersinergi menyalakan ruh kebaikan, memperjuangkan kebenaran, mencipta sebentuk keindahan di kampus ini. Jika kampusku adalah malam, mereka adalah gemintangnya. Orang-orang seperti Mbak Rahmi, dan juga…. Angkasa.
Ah, hati. Tak perlu lagi aku resah akan rasa entahlah yang menggejala. Takkan pernah kuceritakan kepada siapa-siapa. Biarlah ia menjadi rahasia alam, tersimpan di balik langit. Selamanya!
Sekarang aku hanya ingin membersamai mereka. Rabbi, tuntun hati ini...
Bersinarlah, Lintang. Bersinarlah.



Yogyakarta, 17 Januari 2012
Di sela rintik hujan senja hari





[1] kamu
[2] gila
[3] menjijikkan
[4] Tidak punya malu sama sekali
[5] orang desa
[6] bintang berekor
[7] Sapardi Djoko Damono dalam Perahu Kertas, Kumpulan Sajak, 1982.

[8] Sapardi Djoko Damono dalam Perahu Kertas, Kumpulan Sajak, 1982.
[9] flu·o·re·sen /fluoresén/ a Kim mempunyai sifat dapat memancarkan cahaya yg gelombangnya lebih panjang dp cahaya datang
[10] berantakan

---


Cerpen ini ditulis empat tahun yang lalu, ketika kami yang bermimpi menulis kisah bernilai dakwah mencoba merangkai pernik dan peristiwa yang inspirasinya kami jarah dari sudut-sudut kampus. Telah dibukukan bersama kisah-kisah lainnya menjadi sebuah antologi cerpen bersama berjudul Angkasa Rindu, terbit tahun 2014 (https://www.goodreads.com/book/show/24995013-angkasa-rindu?from_new_nav=true&ac=1&from_search=true).

Hari ini, ketika berita mengenai penggusuran Bonbin--kantin legendaris di kampus UGM itu santer diberitakan, kami yang pernah menjadi bagiannya di masa lalu, kami para sarjana yang semasa hidup di kampus nutrisinya tercukupi berkat kantin itu, mungkin hanya mampu menunduk takzim. Semuanya tidak ada yang kekal, apatah lagi seonggok tempat makan.

Sungguh kantin itu tak lebih mewah daripada kantin fakultas tetangga, boro-boro dibandingkan dengan cafe necis ala Starbucks. Nuansanya pun tidak begitu tertata rapi, agak kotor, gelap dan penuh asap rokok yang melayang-layang di udara. Sederhana saja.

Sampai hari ini, saya sendiri belum bisa memahami daya magis apa yang dimilikinya sehingga pengunjungnya selalu membludak. Pun belum bisa menjabarkan keunikan macam apa yang membuatnya begitu disayang banyak orang.

Namun, terima kasih banyak telah mengilhami saya menulis ini. Saya posting biar bisa dibaca banyak orang. Demi mengenang Bonbin.

Tidak ada komentar: