Oleh: Lia
Wibyaninggar
Bonbin. Bukanlah akronim dari “Kebon Binatang”. Bukan
sama sekali. Layaknya kisah dalam drama The
Zoo Story karangan Edward Albee, kau akan terkecoh lantaran tak menemukan
satu pun binatang diceritakan di sana. Ya, zoo
dalam kisah itu hanyalah metafor tentang kehidupan manusia yang terkerangkeng,
tak ubahnya binatang dalam kandang. Terpenjara,
tak bisa leluasa.
Sebelumnya aku hanya mengenal satu “Bonbin” di kota ini,
namanya Gembira Loka. Terakhir kali aku ke sana waktu masih SD kelas lima. Ah, aku sudah lupa bagaimana
pemandangan di sana,
tentu sudah berubah banyak. Sepuluh tahun berselang, dan aku kembali lagi ke kota indah ini, sebagai
mahasiswi. Bukan tujuan utamaku untuk mejelajah setiap detail kota ini, apalagi reuni dengan Gembira
Loka—di mana aku pernah dengan sialnya hampir digigit kera gara-gara aku tidak
memberinya kacang goreng yang kubawa. Aku hanya ingin belajar dengan tenang di sini, belajar sastra dan rupa-rupa
bahasa di dunia. Menimba ilmu, bukan hanya menuntut ilmu. Sebab pada dasarnya,
ilmu sama sekali tidak bersalah, kenapa harus kutuntut?
“Sampeyan[1] mau
jadi apa? Sastrawan, seniman gendheng[2]?”
katanya suatu ketika. Membuatku seketika meraih pisang rebus di atas piring
yang dihidangkan emakku buat kami berdua, mengupas kulitnya, dan mencaploknya
dengan perasaan kesal bergumpal-gumpal. Ingin rasanya kutabok muka lelaki di
hadapanku ini kalau saja aku bukan lagi gadis desa yang tak tahu etika. Ya, aku
tahu maksudnya. Pacarku itu ingin kami cepat-cepat menikah setelah aku lulus
SMA. Seperti adat orang-orang di desa ini, lulus SMA sudah saatnya membina
rumah tangga. Oleh karena itu dia keberatan jika aku kuliah, apalagi di tempat
yang notabene jauh sekali dari kampung halaman. Aku tinggal di kaki Gunung
Wilis, Kota Gudeg tentulah bermil-mil jauhnya dari sini.
“Mbok ya
ngambil kedokteran kek, atau kesehatan gitu, Lin. Desa kita ini masih butuh
banyak tenaga medis lho.” Ngeles. Aku
sudah bosan dengan bujuk rayunya. Justru dengan mempelajari bahasa, aku bisa
membantu mengembangkan desa ini dalam berbagai bidang, menurutku. Pokoknya aku
ingin menjelajah dunia, itu artinya aku harus belajar bahasa. Aku ingin meraih
cita-cita yang kurajut dengan tanganku sendiri. Dia terus mengoceh sepanjang
waktu kencan kami di serambi rumah waktu itu, aku tak hirau akan semua itu. Hanya
diam. Melamun justru lebih penting daripada mendengarkan bualannya.
“Lin, jadi keputusannya bagaimana? Kau mau menerima
saranku, kan?”
Aku menatap persis matanya, dan tanpa ragu kuucapkan,
“KITA PUTUS!”
***
Sekarang aku benar-benar menginjakkan kaki di sini.
Sebagai mahasiswi Fakultas Sastra. Di kampus sastra ini ada komunitas pecinta
puisi, dan di sanalah aku terjun kemudian: Sanggar Bambu. Kami latihan tiap
usai magrib hingga larut. Bahkan aku sering numpang tidur di sekre Mapala.
Seperti yang sudah kuceritakan di awal, di sini ada
“Bonbin”—bukan kebon binatang. Itu tempat favoritku
nongkrong sehari-hari bersama kawan-kawan sanggar. Menuntaskan hasrat lapar dan
haus, dengan harga yang sangat terjangkau bagi mahasiswa seperti kami. Ngobrol
berlama-lama, menertawakan hidup. Tak jarang asap rokok melayang-layang membuat
pengap tempat ini. Namun, sorry saja,
aku pantang merokok—apalagi nge-drugs.
Meski aku bukan lagi gadis desa yang lugu dengan rambut berkepang dua. Celana
jins belel, sandal jepit, rambut potongan laki-laki, aku ke kampus seperti itu,
tak masalah. Ternyata ada yang lebih parah daripada aku. Aku sering menemui
gadis itu, yang juga suka makan di kantin ini. Dia berkerudung, tapi nggilani[3]—bibirnya
yang bergincu ungu dengan santainya mengepul-ngepulkan asap rokok. Ora nduwe isin babar pisan[4].
Di sisi lain, sering ada mbak-mbak bercadar hitam-hitam beli siomay, dibungkus.
Mana mungkin dia makan di sini? Potret manusia yang penuh
rasa malu. Ah, paradoks.
Paradoks lain yang kutemui: banyak sekali pengemis
berkeliaran di kantin ini. Macam-macam style-nya.
Mulai dari nenek-nenek, ibu-ibu, anak kecil, bapak-bapak yang agak sinting,
blablabla... Pengamen juga tak mau kalah. Umumnya pengamen yang mampir di sini
orang-orang tua, mendendangkan lagu Jawa yang bahkan aku tak mengerti liriknya.
Paradoks, sebab lingkungan di sini adalah lingkungan
akademisi, calon sarjana, calon doktor, calon profesor. Sementara
pengemis-pengamen itu, mengenyam pendidikan dasar saja, mungkin tidak. Aku
masih jauh lebih beruntung dari mereka, meskipun aku wong ndeso[5].
Ada banyak versi mengapa kantin ini dijuluki “Bonbin”,
padahal sudah jelas plang di depan bertuliskan “Kantin Humaniora Mandiri”.
Letaknya persis di tepi jalan Sosio-Humaniora, di samping Fakultas Sastra, di
depan Fakultas Ekonomi. Karena begitu terbuka, mungkin itu sebabnya kantin ini
banyak didatangi orang dari luar, tak terkecuali pengemis-pengamen yang tiap
hari ngantor di sini. Versi satu,
dijuluki “Bonbin”, sebab dulu sebelum direnovasi, kantin ini masih memiliki
pembatas, yang jika orang memandang dari luar akan tampak seperti kandang,
ditambah ketawa-ketiwi ngakak orang-orang yang nongkrong di sini, seperti hewan
di dalam kandang kebon binatang. Versi dua, “Bonbin” adalah akronim dari Kebon
Bintang, pasalnya dulu sebelum direnovasi, tempat ini masih belum beratap
seperti sekarang, jadi jika malam tiba, tampaklah bintang-bintang bertebaran di
langit. Ada juga yang bilang, disebut Kebon Bintang sebab tempat ini, fakultas
ini notabene adalah asal-muasal lahirnya orang-orang ternama. Sebut saja,
Sapardi Djoko Damono dan W. S. Rendra, dewa puisi yang bersinar bak gemintang
di jagad sastra Indonesia. Dan mungkin, masih ada versi-versi yang lain yang
aku tak tahu menahu tentang sebutan Bonbin.
Kebon Bintang. Sungguh, membuatku ingat dengan
namaku sendiri, Lintang Nur Laili. Bapak yang mewariskan nama itu kepadaku. Katanya
dulu ketika kelahiranku, Bapak melihat lintang
kemukus[6]
malam hari, indah sekali. Sebuah harap juga bersemi, bahwa anaknya kelak akan
“bercahaya” di mata dunia, membuat sesuatu yang bisa dibanggakan orang tua.
Sudahkah? Duhai, berat sekali tuntutan itu. Ya, aku lintang, namun masihlah
lintang yang redup.
Kubaca ulang puisi Sapardi Djoko Damono bertitel Hatiku Selembar Daun itu. Pekan depan
ada malam pementasan budaya, sanggar kami ikut andil, tampil dalam pementasan
itu. Kami membawakan puisi ini
bertiga, kolaborasi dengan musik dari anak-anak orkestra fakultas sebelah.
hatiku selembar daun melayang jatuh
di rumput;
nanti dulu, biarkan aku sejenak
terbaring di sini;
ada yang masih ingin kupandang, yang
selama ini senantiasa luput;
sesaat adalah abadi sebelum kausapu
tamanmu setiap pagi.[7]
“Sudah selesai berlatihnya, Lin?”
Kuangkat wajahku menatap orang yang menegurku itu. Ah, selalu. Dia bicara dengan tembok, atau terkadang
dengan benda-benda lain di ruangan ini, bukan dengan manusia yang dia ajak
bicara.
“Sudah,” jawabku malas.
“Ya sudah. Kalau begitu, kita akhiri latihan kita hari
ini ya. Wassalamu’alaikum warahmatullah!”
“Wa’alaikumussalam.” Koor yang lain—termasuk aku.
Angkasa. Sosok paling ‘nyentrik’ di komunitas ini. Dari
namanya saja sudah unik. Angkasa. Barangkali dia berasal dari luar angkasa,
nyasar ke sini. Ikut nimbrung bersama kami—para penyair edan. Hahaha. Ketika
yang lain pakai jins belel bolong-bolong, dia malah rapi jali pakai celana
bahan di atas mata kaki. Ketika yang lain
rambutnya gondrong macam semak-semak, dia justru klimis macam mau lamaran. Dan
aku paling jengah jika dia ogah menatap mata lawan bicaranya, terlebih kepada
cewek macam aku. Dia lebih suka
puisi-puisi religi kepunyaan Taufiq Ismail, daripada romantisme puisi Rendra.
Dia pegiat organisasi keislaman di kampus ini. Dia.... Ah! Kenapa aku jadi
membahas dia?
Hari ini mulai bulan puasa. Tapi aku tidak berpuasa. Lagi
M, malas.
“Saya usul, selama Ramadan latihan kita siang saja ya,
malam waktunya beribadah,” seloroh Angkasa.
“Malam tak masalah sebenarnya, lha itu yang pada latihan buat persiapan OSPEK mahasiswa juga
malam, sampai tengah malam pula,” Rudi menimpali.
Ah ya, sebenarnya kami sudah sama-sama tahu tentang
latihan persiapan OSPEK tak penting itu, yang diwarnai dengan pesta alkohol,
kadang kekerasan fisik. Tradisi di kampus ini dari jaman bahuela. Tentu saja sanggar kami tidak seperti mereka. Apalagi ini
bulan suci Ramadan, di mata Angkasa tentu hal itu sangat ‘memuakkan’.
“Itu urusan mereka dengan Allah, Rud. Kalau kita masih
memuliakan bulan ini, kita takkan menghabiskan malam dengan latihan, tapi
tadarusan. Fahimtum? Mengerti?”
“Iya, Pak Ustaz! Fahimna!
Mengerti,” koor yang
lain berbarengan. Aku tersenyum dikulum. Dia memang sering menularkan bahasa planet-nya kepada kami.
“Lho, kamu bukannya
ikut divisi P3K ya, Ang? Otomatis kamu ikut mengawasi latihan OSPEK mereka tiap
malam, ya kan?” Saras tiba-tiba bertanya.
Yang ditanya hanya mengangguk, lantas tersenyum, entah
maksudnya apa. Apaan? Dasar manusia sok
misterius. Alien dari planet seberang.
“SKIS punya program apa bulan ini?” Sekarang
giliran aku yang bertanya. Aku tahu soal SKIS. Sie
Kerohanian Islam Sastra. Dia sering promosi soal SKIS kepada kami-kami ini.
“Ramadan di Fakultas, Lin. Salah satu acaranya ada
Semarak Jilbab dan Koko. Nanti dapat bonus deh kalau pake jilbab buat yang
cewek, dan pake koko buat yang cowok.”
Aku mengacak rambut jabrikku. Boro-boro memakai kerudung.
Dia sungguh-sungguh menyindirku. Asem! Namun,
seketika terbit malu di hatiku.
“Tuh, kamu disuruh pakai jilbab sama Pak Ustaz, Lin.
Ntar kalau beneran, pasti langsung dihadiahi lamaran
deh.” Rudi nyengir kuda, disambut gelak tawa
yang lain. Anak-anak ini sialan! Apa-apaan
mereka?! Sementara Angkasa langsung ngeloyor pergi setelah berucap salam.
***
Sejak dulu, kampus sastra dikenal dengan mahasiswa-mahasiswa hedonis yang
suka berpesta malam-malam, tak jarang mabuk-mabukan. Stigma yang sudah
terstempel dan susah dihilangkan. Namun susah bukan berarti tidak mungkin.
Sekarang aku semester tiga. Sedikit-banyak tahu tentang
keadaan kampus tempatku menimba ilmu. Dua kubu yang bertolak belakang itu
belakangan semakin memanas pertarungannya. Lihat saja, kubu kiri yang
habis-habisan mengkader aktivisnya dengan persiapan OSPEK penuh kekerasan dan
pesta minuman di malam Ramadan, sementara kubu kanan—para aktivis musala yang
berjuang memerangi itu semua. Siapa yang bakal menang, aku tak tahu. Tapi,
bukankah kebenaran selalu menang? Kisah klasik
jaman kanak-kanak. Bukankah Power Ranger selalu menang melawan Monster? Lantas, aku berada di kubu yang mana? Kubu apatis,
mungkin iya. Namun bukan berarti aku menarik diri dari kenyataan-kenyataan yang
ada.
Ah, pertarungan ideologis yang mewarnai dunia kampus ini,
pusing rasanya mencerna itu semua. Jika tak hati-hati, bisa saja terjerumus.
Segala kemungkinan bisa terjadi di sini. Yang jahat bisa berubah jadi malaikat.
Yang baik bisa menjadi jahat. Yang baik, bisa menjadi lebih baik juga. Yang
jahat, bisa jadi lebih beringas juga. Entahlah, setidaknya aku ada di jalur tengah.
Alim tidak, jahat juga tidak. Hidupku sekarang adalah kuliah dan berpuisi,
memastikan Sanggar Bambu akan selalu eksis di kampus sastra ini.
Esoknya teman-teman sanggar mengajakku ke rumah sakit.
“Pak Ustaz opname,” Ardan memberitahuku. Oya? Sakit apa tuh orang?
***
Ruangan bertirai putih itu sebelumnya sesak oleh
pengunjung, mayoritas laki-laki, modelnya setipe dengan Angkasa. Teman-teman
musala-nya barangkali. Ada juga beberapa yang perempuan, berjilbab panjang
semuanya.
“Woy! Kok bisa sih, Ang? Kamu ini divisi P3K yang
ngurusin orang cedera, kok kamu yang malah bonyok? Hahaha.” Rudi masih
sempat-sempatnya berkelakar.
“Oh iya! Sampai lupa bilang, assalamu’alaikum!”
lanjutnya, yang langsung kami jawab bersama disertai tawa yang membuncah.
“Panjang ceritanya, Rud. Semalam ada yang mabuk. Aku
sudah tidak mau berdiam diri dengan keadaan ini lagi. Ramadan, kawan. Pantaskah
bulan suci diwarnai dengan kemaksiatan? Tapi pemabuk itu malah membanting botol
minumannya, pelipisku kena pecahannya.”
Aih... Sekarang aku yang memalingkan wajah darinya. Ngeri
melihat wajah trouble-nya yang habis
dijahit.
“Get well
soon, Bro. Nggak ada kamu, Sanggar Bambu bakal nggak rame. Nggak ada alien di sana! Huahaahaa.” Aku menyikut Rudi,
ia lantas terdiam.
“Eh, ada titipan buat kamu, Lintang.” Seperti biasa,
Angkasa bicara kepadaku, tapi matanya mengarah ke Rudi atau Ardan. Ghad... Ghadul apa namanya?
Kado? Aku kan tidak sedang berulang tahun.
“Dari siapa?” tanyaku kemudian.
“Mbak Rahmi. Tadi sebelum pulang dari sini, beliau nitip
ini buat Lintang.”
Mbak Rahmi, kakak mentoringku dulu di Asistensi Agama
Islam ketika semester satu. Ah ya, Angkasa dan Mbak Rahmi sama-sama aktivis musala.
“Yaaahh, kukira tadi itu kado dari Pak Ustaz buat anak
ini...” Rudi mendesah kecewa sambil telunjuknya mengarah kepadaku. Kali ini
kucubit dia. Disusul tawa orang-orang seisi ruangan. Ah, aku ingin pulang.
Takut jika mukaku berubah merah bak kepiting rebus.
***
Ah, aku mendesah resah. Kampusku gelap. Kampusku pekat. Tiada satu
gemintang pun di sana. Hanya awan hitam bergerak perlahan. Mengungkung langitnya
dengan kejam, dan sebentar lagi air bah akan tumpah. Membinasakan kebatilan.
Kemudian yang tersisa hanyalah kebenaran.
Kubuka pemberian dari Mbak Rahmi yang dibungkus apik
dengan kertas kado itu. Kain segi empat berwarna kuning gading. Jilbab?
Waktu berjalan dan sebentar lagi habislah Ramadan.
Aku puasa tapi bolong-bolong. Biarlah. Lintang masih belajar. Ada kabar mengejutkan yang kuterima dan
menjadi berita hangat di fakultas ini. Kabar perubahan.
“Mari kita ucapkan selamat tinggal kepada tradisi tolol
jaman bahuela.”
“What’s up?”
aku mengernyitkan dahi mendengar celoteh Ardan usai kami latihan sore itu.
“Baca saja.” Lelaki bertubuh gempal itu lantas mengangsurkan
beberapa lembar kertas kepadaku. Surat? Aku semakin tak
paham.
Surat keputusan dari dekanat. Isinya melarang segala
bentuk tindakan kriminal di kampus. Mulai sekarang, tiap malam akan ada razia
di titik-titik tertentu. Jika diketahui ada barang seperti botol minuman,
kondom, suntikan, dan semacamnya, mahasiswa yang bersangkutan akan dikenai
sanksi yang berat. Jam malam pun diberlakukan. Kalaupun ada kegiatan harus
dengan izin tertulis dari fakultas, penginap ilegal di kampus juga akan dikenai
sanksi.
“Dapat dari mana?” tanyaku.
“Angkasa. Selama ini mereka berjuang, dan hasilnya
lihatlah, memuaskan sekali.”
“Mereka?” tanyaku lagi.
“Maksudku, kubu kanan.”
Apa kubilang? Power Ranger pasti mengalahkan
Monster. Aku tersenyum dalam hati. Meski sempat terbersit pemikiran bahwa belum
tentu juga peraturan bikinan dekanat itu akan menghapus seratus persen
“keburukan” itu.
“Sekarang Angkasa di mana? Kan kita mau latihan puisi baru.” Aku baru
menyadari jika alien yang biasanya kami sapa Pak Ustaz itu tak nongol beberapa
hari ini.
Rudi terdiam sesaat. “Errr… Mungkin ada agenda SKIS,
dia kan
sering begitu. Sudahlah, kita latihan tanpa dia juga tak masalah kan?”
Aku mengangguk, meski ada perasaan entahlah yang
mengganjal sesorean itu.
akulah si
telaga: berlayarlah di atasnya;
berlayarlah
menyibakkan riak-riak kecil yang menggerakkan bunga-bunga padma;
berlayarlah
sambil memandang harumnya cahaya;
sesampai di
seberang sana, tinggalkan begitu saja
-- perahumu
biar aku yang menjaganya[8]
Puisi cinta!
Bah, apa itu cinta? Sejak kuputuskan pacarku waktu itu, aku tak pernah
berpacaran lagi. Apa urgensinya? Hanya menyita waktu, menyita perasaan. Lantas,
rasa ini buat siapa? Ketika muncul lagi riak-riak
kecil yang menggerakkan bunga-bunga padma di hatiku. Apakah aku...? Ah,
tidak, dia terlalu sulit, terlalu melangit. Alangkah sukarnya menjadi bintang kejora yang benderang di angkasa raya, sebab hingga kini, aku masihlah bintang yang redup,
yang kehilangan cahaya-Nya.
***
Langit malam ini bersih. Bulan utuh sintal bersinar
dengan pongah di atas sana, gemerlap bintang menyemarakkan langit. Jika aku
boleh memberi stigma, maka kampusku perlahan sudah benderang lagi. Banyak
bintang bertabur di sana, memancarkan cahayanya. Merekalah yang seharusnya
disebut bintang-bintang itu:
orang-orang di jalur kebaikan, yang memperjuangkan kebenaran.
Sejenak kemudian aku teringat akan kain segi empat
pemberian Mbak Rahmi. Ragu kutatap cermin, lantas mengenakannya dengan agak
susah-payah. Sreeet... Jadilah! Aduhai, warna
kuning gadingnya cocok dengan kulit langsatku. Senyum tak bisa kutahan di depan
cermin itu. Laiknya orang gila, senyum-senyum sendirian di depan kaca.
***
“Assalamu’alaikum…
Lintang?” suara lembut yang kukenal itu mendadak intonasinya berubah,
terperanjat begitu melihatku. Ya, aku yang mengajaknya janjian bertemu di taman
ini, salah satu sudut eksotis di kampus kami. Bukan, kami bukan akan nge-date.
“Subhanallah…” ucapnya, masih tak habis pikir
dengan penampilanku.
“Anyway,
terima kasih banyak atas hadiahnya, Mbak…”
“Jadi, kau pengen pamer ini to?” Mbak Rahmi tersenyum dikulum.
“Lebih dari itu,” ucapku lirih. “Mbak, mau
membimbing Lintang lagi? Follow up
dari yang dulu. Belajar ngaji, belajar Islam, belajar tentang keadaan kampus
ini juga. Mbak mengenalkanku kepada banyak hal. Sekarang, setelah aku
mengetahui dinamika kehidupan di kampus kita, aku hanya tak ingin aku berbelok
semakin jauh. Aku bukanlah lintang sesuai namaku, orang-orang seperti Mbak inilah yang
kuanggap bintang. Fluoresen[9], memantulkan cahaya dari matahari ke bumi. Anggaplah aku
buminya, Mbak.”
Mbak Rahmi tergugu. Senyumnya tetap tak lepas dari bibir
mungilnya.
“Ah, aku ingat dulu kau sering bilang begini ke aku
ketika kita mentoring, ‘Mbak, ceramahnya udah, belum? Saya mau pulang.
Ngantuk.’ Hehe. Teman-temanmu taat dengan jilbabnya, kau masih saja bangga pakai
you-can-see. Tapi itu kuanggap
sebagai tantangan, kondisi obyek dakwah memang berbeda-beda. Contohnya seperti
kamu ini. Tapi masalah hidayah tetap urusan Allah. Unexpected. Apakah aku mau membimbingmu lagi, Lin? Tentu saja.
Ijinkan Mbak Rahmi menjadi sahabat bagimu.”
Kupeluk ia. Erat. Sudah lama aku tidak merasakan
dekapan hangat seorang kakak. Dalam hati kugumamkan sebarisan doa, doakan biar
aku tetap istikamah,
Mbak. Aku ingin bergabung bersama kalian. Merasakan apa yang pernah kau sebut
sebagai indahnya ukhuwah.
Mbak Rahmi tersenyum lagi. Tangannya membenahi
kerudungku yang masih morat-marit[10].
Aku menahan tawa. Ini masih percobaan
sih, Mbak.
“Darussalam, sebuah negeri di surga. Ada selaksa keindahan di sana. Kita tak pernah bisa
membayangkan indahnya. Ingin rasanya keindahan itu tertular kemari, meski
setetes. Namun, keindahan itu harus diupayakan, Lin. Tidak serta-merta.”
Ujung jilbab panjang Mbak Rahmi anggun tertiup angin
sepoi yang melintas. Ya, aku tahu.
Perlu proses panjang untuk mencicip keindahan itu di negeri ini, di kampus ini.
Aku lantas teringat tempat nongkrongku sehari-hari, menuntaskan hasrat lapar
dan haus, dengan harga yang sangat terjangkau itu. Kebon Bintang, julukan yang
unik. Bisa jadi julukan itu benar adanya. Sebab aku tahu, kampusku berisikan
banyak sekali orang-orang yang bersinergi menyalakan ruh kebaikan,
memperjuangkan kebenaran, mencipta sebentuk keindahan di kampus ini. Jika
kampusku adalah malam, mereka adalah gemintangnya. Orang-orang seperti Mbak
Rahmi, dan juga…. Angkasa.
Ah, hati. Tak perlu lagi aku resah akan rasa entahlah
yang menggejala. Takkan pernah kuceritakan kepada siapa-siapa. Biarlah ia
menjadi rahasia alam, tersimpan di balik langit. Selamanya!
Sekarang aku hanya ingin membersamai mereka. Rabbi,
tuntun hati ini...
Bersinarlah, Lintang. Bersinarlah.
Yogyakarta, 17 Januari 2012
Di sela rintik hujan senja hari
[1] kamu
[2] gila
[3] menjijikkan
[4] Tidak punya malu sama sekali
[5] orang desa
[6] bintang berekor
[7] Sapardi Djoko Damono dalam Perahu Kertas, Kumpulan Sajak, 1982.
[8] Sapardi Djoko Damono dalam Perahu Kertas, Kumpulan Sajak, 1982.
[9] flu·o·re·sen
/fluoresén/ a Kim mempunyai sifat dapat memancarkan cahaya yg
gelombangnya lebih panjang dp cahaya datang
[10] berantakan
---
Cerpen ini ditulis empat tahun yang lalu, ketika kami yang bermimpi menulis kisah bernilai dakwah mencoba merangkai pernik dan peristiwa yang inspirasinya kami jarah dari sudut-sudut kampus. Telah dibukukan bersama kisah-kisah lainnya menjadi sebuah antologi cerpen bersama berjudul Angkasa Rindu, terbit tahun 2014 (https://www.goodreads.com/book/show/24995013-angkasa-rindu?from_new_nav=true&ac=1&from_search=true).
Hari ini, ketika berita mengenai penggusuran Bonbin--kantin legendaris di kampus UGM itu santer diberitakan, kami yang pernah menjadi bagiannya di masa lalu, kami para sarjana yang semasa hidup di kampus nutrisinya tercukupi berkat kantin itu, mungkin hanya mampu menunduk takzim. Semuanya tidak ada yang kekal, apatah lagi seonggok tempat makan.
Sungguh kantin itu tak lebih mewah daripada kantin fakultas tetangga, boro-boro dibandingkan dengan cafe necis ala Starbucks. Nuansanya pun tidak begitu tertata rapi, agak kotor, gelap dan penuh asap rokok yang melayang-layang di udara. Sederhana saja.
Sampai hari ini, saya sendiri belum bisa memahami daya magis apa yang dimilikinya sehingga pengunjungnya selalu membludak. Pun belum bisa menjabarkan keunikan macam apa yang membuatnya begitu disayang banyak orang.
Namun, terima kasih banyak telah mengilhami saya menulis ini. Saya posting biar bisa dibaca banyak orang. Demi mengenang Bonbin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar