Sepasang sepatu tidak akan bisa
diajak berjalan jika sama persis, ia harus sesuai dengan kaki kiri dan kaki
kanan, bukan kanan semua atau kiri semua. Jika sama, maka langkahmu akan
pincang. Sebab itulah sesuatu disebut ‘sepasang’. Namun, sepasang itu tentunya
harus ‘serupa’. Tidak mungkin memasangkan sandal jepit dengan sepatu berhak
tinggi untuk diajak berjalan bersama, sebab selain pincang, kau tentu akan
dikatakan sakit jiwa.
Kadangkala, mengurai firman Allah
swt tentang segala sesuatu diciptakan berpasangan, tak semudah mengetuk satu
demi satu pintu untuk menemukan pasangan sepatu kaca Cinderella. Tak semudah
pengarang cerita menjodohkan Sang Pangeran dengan gadis upik abu dari rakyat
jelata bernama Cinderella. Pun tak segampang Eugene si pencuri mahkota membuat
jatuh hati Rapunzel sang putri kerajaan. Tidak semengharukan kisah Asmara pasca patah hati dari Dewa, kemudian menemukan Zhong Wen, sang pria Tionghoa sebagai kekasih yang mampu menerimanya apa adanya. And they live happily ever after.
Hidup tidak sedongeng itu, bukan? Bukanlah kisah rekaan yang bisa
dimain-mainkan alur dan endingnya begitu saja. Lebih misterius dan acak dari
dongeng paling misterius yang pernah ada, tak pernah bisa diterka.
Untuk membuat hidup terasa lengkap,
kita sering bertanya tentang siapa gerangan yang tepat untuk dijadikan belahan
penyempurna separuh yang belum purnama. Mencari-cari belahan lain mengandalkan
kata cocok, tepat, atau sesuai, tanpa kita mau lebih memahami
dan benar-benar tahu kaidah cocok itu sebenarnya apa dan bagaimana.
Apakah sebuah kesesuaian
harus diartikan dengan saling berbeda semata? Berbeda dalam banyak hal, yang
tentu saja bukan lame excuse yang mendasarkan lelaki-perempuan saja. Kebertolakbelakangan
yang disebut-disebut mampu memenuhi asas ‘saling melengkapi’.
Apakah sebilah kecocokan
harus dimaknai dengan banyaknya persamaan? Kegemaran yang nyaris sama, alur
berpikir yang sejalur, latar belakang akademik yang serupa, dan sejumlah
persamaan-persamaan lainnya, yang entah disebut kebetulan atau apa. Herannya,
tak jarang kita menyebut persamaan-persamaan yang kebetulan itu sebagai
simbol-simbol menemukan keserasian, menurut pandangan kita. Persamaan-persamaan
yang disebut-sebut mampu menyejajarkan ritme langkah sehingga seirama.
Jika kesesuaian diartikan
dengan adanya jurang beda yang menganga, lantas mengapa Cinta dalam kisah Ada
Apa dengan Cinta? 2 lebih memilih Rangga daripada Trian yang menjadi
tunangannya? Ah, tentu saja! Cinta yang menyukai sastra, gemar menulis puisi
dan memiliki galeri seni tentu lebih nyambung dengan Rangga yang bak pujangga
dengan puisi-puisinya pula—daripada dengan Trian yang seorang pebisnis muda. Seperti
halnya, bagaimana jika hidupmu mayoritas adalah angka, sedangkan hidupku nyaris
semuanya puisi dan kata-kata, sementara kita belum menemukan apa gerangan yang
mampu menjembataninya?
Namun, jika kesesuaian itu
dimaknai hanya karena persamaan-persamaan, bukankah telah banyak pula yang
begitu berbeda namun nasib mempersatukannya. Perbedaan-perbedaan justru serupa lekuk-lekuk notasi berbeda dan menghasilkan nada indah yang mampu
dinikmati.
Di penghujung malam, kita masih saja
bertanya-tanya tentang makna tepat dan serasi, yang ternyata tidak pernah kita
benar-benar mengetahui. Tidak pernah benar-benar kita mampu memberi definisi. Sebab
bukan itu yang seharusnya selama ini kita cari. Di penghujung malam, kita
menengadahkan tangan, mencoba berlaku puitis terhadap segala macam pinta: semoga
Ia memberikan yang terbaik. Sedangkan kita tidak pernah benar-benar tahu perihal ‘yang terbaik’ itu sendiri.
Seraya masih terus melangkah, kita
masih saja mencari-cari apa dan siapa yang cocok sebagai pelengkap
ganjilnya hidup, tanpa kita kunjung menemui. Sebab ia memang tak pernah ada di
dunia ini. Aku, kamu, kita tidak akan pernah mampu menjadi sama, atau
menjadi terlalu berbeda satu sama lain sebagai belahan penyempurna.
Usai dibelai udara subuh dan mengkhatamkan
renungan, ketika fajar mulai mengiblatkan perak cahaya pertamanya, aku, kamu,
kita ternyata tidak butuh apa-apa. Kita tersadar bahwa kita tak memerlukan apa-apa untuk mampu
melangkah bersama--sedekat apapun persamaan, dan sejauh apapun jurang beda yang menganga--selain kesediaan untuk saling menerima.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar