Selasa, 17 Mei 2016

Tepat




Sepasang sepatu tidak akan bisa diajak berjalan jika sama persis, ia harus sesuai dengan kaki kiri dan kaki kanan, bukan kanan semua atau kiri semua. Jika sama, maka langkahmu akan pincang. Sebab itulah sesuatu disebut ‘sepasang’. Namun, sepasang itu tentunya harus ‘serupa’. Tidak mungkin memasangkan sandal jepit dengan sepatu berhak tinggi untuk diajak berjalan bersama, sebab selain pincang, kau tentu akan dikatakan sakit jiwa.

Kadangkala, mengurai firman Allah swt tentang segala sesuatu diciptakan berpasangan, tak semudah mengetuk satu demi satu pintu untuk menemukan pasangan sepatu kaca Cinderella. Tak semudah pengarang cerita menjodohkan Sang Pangeran dengan gadis upik abu dari rakyat jelata bernama Cinderella. Pun tak segampang Eugene si pencuri mahkota membuat jatuh hati Rapunzel sang putri kerajaan. Tidak semengharukan kisah Asmara pasca patah hati dari Dewa, kemudian menemukan Zhong Wen, sang pria Tionghoa sebagai kekasih yang mampu menerimanya apa adanya. And they live happily ever after. Hidup tidak sedongeng itu, bukan? Bukanlah kisah rekaan yang bisa dimain-mainkan alur dan endingnya begitu saja. Lebih misterius dan acak dari dongeng paling misterius yang pernah ada, tak pernah bisa diterka.

Untuk membuat hidup terasa lengkap, kita sering bertanya tentang siapa gerangan yang tepat untuk dijadikan belahan penyempurna separuh yang belum purnama. Mencari-cari belahan lain mengandalkan kata cocok, tepat, atau sesuai, tanpa kita mau lebih memahami dan benar-benar tahu kaidah cocok itu sebenarnya apa dan bagaimana.

Apakah sebuah kesesuaian harus diartikan dengan saling berbeda semata? Berbeda dalam banyak hal, yang tentu saja bukan lame excuse yang mendasarkan lelaki-perempuan saja. Kebertolakbelakangan yang disebut-disebut mampu memenuhi asas ‘saling melengkapi’.

Apakah sebilah kecocokan harus dimaknai dengan banyaknya persamaan? Kegemaran yang nyaris sama, alur berpikir yang sejalur, latar belakang akademik yang serupa, dan sejumlah persamaan-persamaan lainnya, yang entah disebut kebetulan atau apa. Herannya, tak jarang kita menyebut persamaan-persamaan yang kebetulan itu sebagai simbol-simbol menemukan keserasian, menurut pandangan kita. Persamaan-persamaan yang disebut-sebut mampu menyejajarkan ritme langkah sehingga seirama.

Jika kesesuaian diartikan dengan adanya jurang beda yang menganga, lantas mengapa Cinta dalam kisah Ada Apa dengan Cinta? 2 lebih memilih Rangga daripada Trian yang menjadi tunangannya? Ah, tentu saja! Cinta yang menyukai sastra, gemar menulis puisi dan memiliki galeri seni tentu lebih nyambung dengan Rangga yang bak pujangga dengan puisi-puisinya pula—daripada dengan Trian yang seorang pebisnis muda. Seperti halnya, bagaimana jika hidupmu mayoritas adalah angka, sedangkan hidupku nyaris semuanya puisi dan kata-kata, sementara kita belum menemukan apa gerangan yang mampu menjembataninya?

Namun, jika kesesuaian itu dimaknai hanya karena persamaan-persamaan, bukankah telah banyak pula yang begitu berbeda namun nasib mempersatukannya. Perbedaan-perbedaan justru serupa lekuk-lekuk notasi berbeda dan menghasilkan nada indah yang mampu dinikmati.

Di penghujung malam, kita masih saja bertanya-tanya tentang makna tepat dan serasi, yang ternyata tidak pernah kita benar-benar mengetahui. Tidak pernah benar-benar kita mampu memberi definisi. Sebab bukan itu yang seharusnya selama ini kita cari. Di penghujung malam, kita menengadahkan tangan, mencoba berlaku puitis terhadap segala macam pinta: semoga Ia memberikan yang terbaik. Sedangkan kita tidak pernah benar-benar tahu perihal ‘yang terbaik’ itu sendiri.

Seraya masih terus melangkah, kita masih saja mencari-cari apa dan siapa yang cocok sebagai pelengkap ganjilnya hidup, tanpa kita kunjung menemui. Sebab ia memang tak pernah ada di dunia ini. Aku, kamu, kita tidak akan pernah mampu menjadi sama, atau menjadi terlalu berbeda satu sama lain sebagai belahan penyempurna.

Usai dibelai udara subuh dan mengkhatamkan renungan, ketika fajar mulai mengiblatkan perak cahaya pertamanya, aku, kamu, kita ternyata tidak butuh apa-apa. Kita tersadar bahwa kita tak memerlukan apa-apa untuk mampu melangkah bersama--sedekat apapun persamaan, dan sejauh apapun jurang beda yang menganga--selain kesediaan untuk saling menerima.

Tidak ada komentar: