Sabtu, 11 Juni 2016

Air Mata




Apa yang bisa saya pelajari dari air matanya sore itu?

Matanya belumlah purna membaca tulisan-tulisan yang saya sodorkan. Namun aktivitasnya terjeda oleh linang yang terlanjur tumpah duluan. Sibuk ia melepas kaca mata, lantas menghapus pipinya yang basah dengan ujung kain kerudung panjangnya.

"Kamu kenapa?" Adakah cerita saya membuatnya teringat sesuatu yang sedih?

"Aku terharu, Mbak," ucapnya.

"Entah kenapa, akhir-akhir ini aku sering meneteskan air mata ketika membaca cerita seperti ini," lanjutnya seraya mengelap wajah sembabnya dengan tisu. Barulah saya sadar ketika itu berhadapan dengan perempuan yang sangat perasa. Ah, bukankah perempuan manapun selalu terdominasi oleh perasaan, sebagaimana diri ini ketika menulis cerita itu.

"Kau benar, Mbak. Alquran sumber inspirasi terdahsyat. Tak ada sehelai daun gugur pun yang tidak diketahui-Nya," ujarnya lagi setelah benar-benar tamat membaca.

Sisa gerimis di wajahnya sudah hilang sempurna. Berganti senyuman yang melengkung sederhana. Ia tidak cantik, tidak pula jelek. Biasa saja, namun tidak mengurangi ketulusan yang mampu saya tangkap dari segaris senyum itu. Seperti ada segumpal kalimat tak terkata, menggantung di udara, namun diam-diam mampu saya baca dari sepasang matanya yang terbingkai kaca: "Aku menunggumu menyelesaikan cerita ini."

Apa yang bisa saya pelajari dari air matanya senja itu?

Duhai, itu sudah senja bertahun-tahun yang lalu. Mungkin diri ini tak ingin ada bulir air dari berpasang-pasang mata lain yang mengalir hanya gara-gara sepotong cerita.

Saya telah bertemu dengannya lagi, namun ia telah lupa perihal kisah yang sempat saya janjikan. Diam. Saya juga tidak akan mengungkit, sebab kami telah sama-sama sibuk oleh hal lain. Lebih baik membicarakan hal lain, sembari berjalan menelusuri jalan setapak dengan guguran daun-daun waru.

Tapi saya yakin hati kami tak pernah alpa ayat itu. Tak ada sehelai daun pun yang gugur tanpa sepengetahuan Sang Maha Mengetahui.

Tidak ada komentar: