Sabtu, 25 Juni 2016

Ramadan dan Sekumpulan Ingatan




Apakah yang kau ingat tentang Ramadan?

Pertanyaan singkat itu terkirim hanya dalam waktu sepersekian milidetik. Dibaca dan dibalas di detik berikutnya. Tanya yang berbalas tanya: mengapa pertanyaannya harus demikian? Sudah bisa ditebak pengetik pesan di seberang tengah mengerutkan kening pertanda keheranan

“Ingin kujawab jujur, yang kuingat tentang Ramadan—selain sederet ibadahnya—ialah sebuah luka yang masih membekas. Luka yang begitu dalam dan butuh waktu lama untuk mengobatinya,” jawabnya pada akhirnya.

Perempuan itu termangu. Tiba-tiba ada rasa ingin sekali merengkuh tubuh gadis yang tengah ia ajak berbincang, lantas meminta maaf atas pertanyaan yang dengan isengnya tiba-tiba ia lontarkan. Tiba-tiba ada rasa ingin sekali bertutur secara langsung, bukan melalui teks-teks pesan media sosial. Namun jarak yang jauh terentang menghalanginya. Tahun berganti, beberapa Ramadan telah berlalu semenjak seseorang itu pergi dari hadapan sang gadis seraya menitipkan luka. Namun, bekasnya masih ada, akunya. Butuh berapa Ramadan untuk menghilangkannya secara sempurna? Entahlah. Nyatanya, Ramadan yang datang tiap tahun justru seolah menjadi peresonansi terbaik bagi ingatan-ingatan. Ramadan, selalu mengingatkan gadis itu pada luka.

Tidak. Ramadan bukan bulan kesedihan. Seharusnya ia justru ingat bahwa Ramadan merupakan bulan penuh ampunan. Seberapa minimkah jumlah dosanya hingga luka itu masih belum juga tertambal sempurna, tersebab hati yang enggan memaafkan? Padahal ia sendiri memintakan ampunan untuk dirinya sendiri tiap kali usai sembahyang. Kelak, di hadapan tuhan, bukankah hatinya yang masih terbalut dendam akan dimintai pertanggungjawaban.

Sepasang mata perempuan itu mengalihkan pandang dari gawainya, meninggalkan obrolan dengan gadis di seberang. Beranjak membuka komputer jinjing, menengok berkas-berkas lama yang menumpuk tak beraturan untuk ia rapikan. Ahai, Ramadan...

Ada berpuluh-puluh episode berkelindan. Ramadan mengingatkannya pada kesibukan masa muda, di mana cita dan idealisme masih berkobar-kobar, seiring kerudungnya yang lebar berkibar-kibar. Repotnya menjadi panitia kegiatan Ramadan di kampus. Buka bersama teman-teman seperjuangan di tanah rantauan. Berburu kajian-kajian keislaman. Mendulang pahala dengan iktikaf di masjid kampus. Ramadan yang manis di kota tempatnya menimba ilmu, hingga melupakan kerinduan akan kampung halaman.

Ramadan membuat memorinya yang kusam kembali terlempar ke pulau seberang. Ramadan beberapa tahun silam dijalaninya di tanah pengabdian. Ramadannya terasa tandus dan gersang, namun perlahan diramaikan oleh aneka rupa pengalaman. Ia rindu buncahan tawa riang anak-anak yang tiap senja bersemangat mengeja ayat-ayat cinta-Nya. Juga harum kue serabi yang tak pernah luput dihidangkan menjelang magrib, khas negeri Sepintu Sedulang. Ramadan aneka rasa. Melelahkan namun meninggalkan perca-perca kenangan, hingga harus dibayarnya semua itu dengan melewatkan malam takbiran di perjalanan. Hingga muka kusutnya akhirnya sampai ke haribaan ibunda keesokan pagi menjelang salat id hendak ditunaikan.

Ingatannya menggeliat, melesat ke tahun berikutnya. Tak ada Ramadan yang benar-benar pahit baginya. Kalaupun ada jerejak sedih yang menandai ingatannya akan Sang Bulan Penuh Berkah, itu hanyalah lembaran terakhir sebelum ia harus mengemas langkah meninggalkan Kota Cinta yang telah menjadi tempatnya bernaung empat tahun lamanya. Usai sibuk menamatkan tugas akhir, membereskan segalanya, dalam kondisi berpuasa ia harus susah payah menahan leleran air mata supaya tak jatuh ke bibir dan tertelan. Menelan air mata sendiri. Sedih berpisah. Ah, norak.

Ramadan membawa ingatan akan pertanyaan-pertanyaan berulang acapkali silaturahmi ketika nanti lebaran datang. “Kapan?” Bahkan ia sendiri heran bukan main, bagaimana menjawab tanya yang ia sendiri sebenarnya juga memiliki tanya yang sama. Sungguh lagu lama, pertanyaan basa-basi karena kehabisan topik penting lain, dan sayangnya menyinggung perasaan para perempuan yang hatinya lunak serupa agar-agar. 

Duhai, apa yang kau ingat tentang Ramadan?

Tak ada yang istimewa dari Ramadannya kali ini, dibandingkan Ramadan di tahun-tahun yang lalu. Sunyi. Jikapun ada peristiwa yang menyentak batinnya, itu tak lain adalah pengumuman kematian dari musala yang bergema menjelang azan subuh berkumandang. Tetangga sebelah yang dijemput malaikat maut kala Ramadan, usai dua hari menginap di ruang pesakitan. Menyusul istrinya yang lebih dulu berpulang dua bulan sebelumnya. Meninggalkan anak-anaknya yang telah berumah tangga—kecuali si bungsu yang baru tamat SMK. Terasa tak ada yang istimewa dari Ramadan kali ini, namun perempuan itu tak punya alasan untuk tidak mensyukuri nikmat masih memiliki orang tua. Terasa tak ada yang istimewa dari Ramadannya kali ini. Namun tentu saja pengingat tentang mati itu berdengung-dengung memenuhi labirin rumit di kepalanya.

Ah, rindu. Ke mana rindu itu kini bermuara?

Orang-orang sibuk memikirkan daftar belanja. Jemaah di masjid-masjid berganti tujuan, membuat pasar-pasar menjadi ramai nan penuh sesak. Merayakan kemenangan semu. Sanggup membeli bermacam kebutuhan dunia, namun sama sekali alpa bahwa masih memiliki hutang dosa yang entah akan dibayar dengan cara apa.

Ramadan seharusnya mengingatkannya pada setumpuk dosa yang ia sendiri tak mampu menghitungnya. Ramadan seharusnya mengingatkannya pada sepuluh malam terakhir yang dijanjikan ampunan oleh Yang Maha Kuasa. Mengoreksi bermacam permohonan yang selalu tergesa ia panjatkan, sebelum tiba-tiba napasnya terpaksa dipenggal malaikat pencabut nyawa. Teringat pula akan dendam dan kemaafan yang belum juga ikhlas ia berikan. Mengoreksi rindu yang seharusnya hanya patut dimuarakan kepada Sang Maha Penggenggam Kehidupan.

Ramadan serupa peresonansi terbaik bagi segenap ingatan. Ia ingat bahwa kini masih selalu tertatih meniti cinta. Namun hatinya mendambakan merayakan kemenangan itu. Kemenangan yang sebenar-benarnya. Yaa ayyatuhannafsul muthmainnah... irji’i ilaa rabbiki radhiyatammardhiyyah. Fadkhulii fii ‘ibadii. Fadkhulii jannatii.



Ramadan, tak terasa, jerjak langkahku sampai di haribaan waktu yang memisahkanku denganmu
Bolehkah aku menyeka air mata, atas pertemuan kita yang hanya sekejap mata?
Bagaimana harus kuhitung hari-hari, jika setiap detik bersamamu terasa syahdu
Sajadah-sajadah dibentangkan
Kalam-Nya dibacakan
Zikir-zikir dilantunkan
Selawat disenandungkan
Setiap senja, anak-anak mengeja dan mengaji menelusuri lembar-lembar bertorehkan hijaiah
Ramadan bagiku seolah jembatan yang mengantarkan metamorfosa cintaku kepada Rabb Semesta Alam
meski hijab keangkuhan nafsuku terkadang menjadi penyeling di jalan juang yang panjang
Kau mengajariku merengkuh kesabaran ketika berjumpa ujian
Mengajakku merenda harapan yang kemudian tumbuh serupa dahan
Lantas langit subuh yang terang dengan gemintang pun menjadi saksi
Titik mula cintaku kepadamu mulai bersemi
Kuuntai dalam doa di tiap sujud rakaat fajar
Kemudian bening subuh mengheningkannya menjadi satu rahasia di jagad raya

Ramadan, di tiap puisi cinta yang kau lantunkan, ada wangi kasturi yang semerbak mewangi memenuhi pagi
Menghampiri kesepianku yang sunyi
Bagaimana harus kuhitung hari-hari yang telah terlewati,
jika setiap detik perjumpaan denganmu terasa syahdu, sayang berlalu
Ramadan, jika kau paham hikayat rasa yang menggelora, mengapa kau tinggalkan aku membatu dalam rindu
“Akankah kita bersama kembali di masa depan?” sungguh itu segumpal tanya yang belum berjawaban
Langkahku yang tersaruk terasa lelah, lungkrah
Ingin kutatap punggungmu yang menjauh dengan pandangan kesat oleh air mata
dan segaris senyuman yang pekat dengan rasa
Jika ada waktunya, rahasia yang kutitipkan kepada semesta akan terbuka
dibisikkan oleh desau angin musim semi di suatu hari
Kelak kita akan bersua, semoga, di depan sebuah pintu bernama Ar-Rayyan
Hanya jika Dia mengizinkan

Tidak ada komentar: