Ada yang berusaha menyapamu dari
kejauhan, meski dengan kata-kata yang ala kadarnya. Engkau terdiam tanpa satu
pun niatan mengetik balasan. Bagimu, namanya yang tiba-tiba muncul kembali saja
sudah berarti mengorek bekas luka—meskipun ia berniat baik, berucap maaf.
Namanya adalah simbol luka, tempat segenap dendam dan kekesalan serta
ingatan-ingatan lampau yang menyesakkan bermuara. Fix! Ingin dihapusnya
nama yang serupa simbol luka itu. Biar terbang dibawa badai topan. Biar hancur
digilas waktu, lenyap diguyur hujan semusim.
Sungguh, jika ada kekuatan untuk
membalas, kau ingin berkata, “Terima kasih telah menambah jumlah daftar
pengalaman tak menyenangkan dalam hidup saya. Biarkan saya bahagia dengan
melupakan anda. Anggap tak pernah ada jumpa. Pun tak usah sok-sokan mencari
kabar saya.”
Apakah kau sama sekali belum
menerima ucapan maafnya? Tentu saja. Ibarat seseorang memaku dinding, kemudian
paku itu dicabutnya dengan kata-kata maaf ala kadarnya, selintas, semudah lidah
melenggang, segampang kalimat copy-paste ala lebaran, namun dinding
tersebut sudah terlanjur berlubang. Menambalnya dengan kata maaf yang dikirim
tergesa-gesa jelas tidak mengembalikan cacat yang telah diciptakan. Mohon
maaf lahir dan batin. Setelah semuanya yang sudah-sudah, semudah itukah?
Hingga hari berganti dan tanggal
bulan Syawal berputar, jemarimu tak jua tergerak membalas ucapan maafnya yang
ala kadarnya. Biar saja. Biar tahu bagaimana rasanya dibenci dan tak diindahkan
lagi. Biar kelak lebih berhati-hati lagi dan tak sembarangan membuat orang lain
sakit hati. Ia adalah sisi kelam dalam salah satu episode hidupmu, dan
selamanya akan tetap menjadi sisi kelam.
Sementara, di ujung sajadah kau
masih mengaduh mencari-cari cahaya terang.
*
Ada yang tak tahu seberapa besar
kadar salahnya kepadamu. Ada yang tak paham betapa hadirnya dalam hidupmu yang
cuma selintas dahulu hanya seolah menitipkan luka, kemudian pergi begitu saja.
Ia sungguh tak benar-benar paham, seberapa dalam goresan yang ia sayatkan dan
membuatmu mengidap perih berkepanjangan.
Ia hanya mengirim kata maaf seraya
harap-harap cemas, apakah kau mau menerima maafnya dengan lapang dada, seolah
di masa lalu tak pernah terjadi apa-apa? Ah, tanpa diucapkan pun ia paham
sepenuhnya, kau bukanlah bidadari bumi dengan kebeningan hati seluas samudra.
Mustahil tak menyimpan rasa berjudul sakit hati.
Berat. Memberi kemaafan sungguh jauh
lebih berat dari mengucap maaf begitu saja. Namun, tentu engkau telah paham,
memaafkan adalah kemuliaan. Jika kau mampu memberi maaf dari setulus-tulusnya
hati, tentu kau lebih mulia dari si peminta maaf. Siapa pula yang tidak ingin
menjadi lebih mulia derajatnya di mata Al-‘Afuww? Kesalahan satu orang manusia
itu kepadamu tentu tak sebanding dengan setumpuk dosamu di hadapan-Nya.
Sementara, di tiap usai salat, bibirmu selalu tak pernah alpa melantunkan
istighfar, meski sebanyak apa pun butiran tasbih yang kau genggam belum tentu
membuat-Nya serta-merta menerima taubatmu.
Lagipula, seseorang hadir, seseorang
pergi dari hidupmu tentu bukanlah sebuah rangkaian kejadian tanpa hikmah. Allah
ingin mengajarimu banyak hal. Tanpa sadar, itulah nikmat terbaik-Nya yang
engkau belum cukup paham: nikmat diberi pelajaran. Tak semua orang mampu
memetiknya dengan sebaik-baiknya pemahaman. Kau, seharusnya bukan hanya memberi
maaf, namun juga berterima kasih.
Kau terbenam dalam air mata, masih
terbalut mukena pemberian ibunda. Warnanya putih, seputih ketulusan cintanya.
Pada dasarnya kau ingin mampu memberi setulus itu. Meski bukan bidadari, pada
dasarnya kau ingin hatimu bersih tak berkalang noda lagi.
-Disalin dari caption postingan di instagram
-Syawal 1437 H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar