Kamis, 14 Juli 2016

Memaafkan yang Tak Termaafkan




Ada yang berusaha menyapamu dari kejauhan, meski dengan kata-kata yang ala kadarnya. Engkau terdiam tanpa satu pun niatan mengetik balasan. Bagimu, namanya yang tiba-tiba muncul kembali saja sudah berarti mengorek bekas luka—meskipun ia berniat baik, berucap maaf. Namanya adalah simbol luka, tempat segenap dendam dan kekesalan serta ingatan-ingatan lampau yang menyesakkan bermuara. Fix! Ingin dihapusnya nama yang serupa simbol luka itu. Biar terbang dibawa badai topan. Biar hancur digilas waktu, lenyap diguyur hujan semusim.
 
Sungguh, jika ada kekuatan untuk membalas, kau ingin berkata, “Terima kasih telah menambah jumlah daftar pengalaman tak menyenangkan dalam hidup saya. Biarkan saya bahagia dengan melupakan anda. Anggap tak pernah ada jumpa. Pun tak usah sok-sokan mencari kabar saya.”

Apakah kau sama sekali belum menerima ucapan maafnya? Tentu saja. Ibarat seseorang memaku dinding, kemudian paku itu dicabutnya dengan kata-kata maaf ala kadarnya, selintas, semudah lidah melenggang, segampang kalimat copy-paste ala lebaran, namun dinding tersebut sudah terlanjur berlubang. Menambalnya dengan kata maaf yang dikirim tergesa-gesa jelas tidak mengembalikan cacat yang telah diciptakan. Mohon maaf lahir dan batin. Setelah semuanya yang sudah-sudah, semudah itukah?

Hingga hari berganti dan tanggal bulan Syawal berputar, jemarimu tak jua tergerak membalas ucapan maafnya yang ala kadarnya. Biar saja. Biar tahu bagaimana rasanya dibenci dan tak diindahkan lagi. Biar kelak lebih berhati-hati lagi dan tak sembarangan membuat orang lain sakit hati. Ia adalah sisi kelam dalam salah satu episode hidupmu, dan selamanya akan tetap menjadi sisi kelam.

Sementara, di ujung sajadah kau masih mengaduh mencari-cari cahaya terang.

*

Ada yang tak tahu seberapa besar kadar salahnya kepadamu. Ada yang tak paham betapa hadirnya dalam hidupmu yang cuma selintas dahulu hanya seolah menitipkan luka, kemudian pergi begitu saja. Ia sungguh tak benar-benar paham, seberapa dalam goresan yang ia sayatkan dan membuatmu mengidap perih berkepanjangan.

Ia hanya mengirim kata maaf seraya harap-harap cemas, apakah kau mau menerima maafnya dengan lapang dada, seolah di masa lalu tak pernah terjadi apa-apa? Ah, tanpa diucapkan pun ia paham sepenuhnya, kau bukanlah bidadari bumi dengan kebeningan hati seluas samudra. Mustahil tak menyimpan rasa berjudul sakit hati.

Berat. Memberi kemaafan sungguh jauh lebih berat dari mengucap maaf begitu saja. Namun, tentu engkau telah paham, memaafkan adalah kemuliaan. Jika kau mampu memberi maaf dari setulus-tulusnya hati, tentu kau lebih mulia dari si peminta maaf. Siapa pula yang tidak ingin menjadi lebih mulia derajatnya di mata Al-‘Afuww? Kesalahan satu orang manusia itu kepadamu tentu tak sebanding dengan setumpuk dosamu di hadapan-Nya. Sementara, di tiap usai salat, bibirmu selalu tak pernah alpa melantunkan istighfar, meski sebanyak apa pun butiran tasbih yang kau genggam belum tentu membuat-Nya serta-merta menerima taubatmu.

Lagipula, seseorang hadir, seseorang pergi dari hidupmu tentu bukanlah sebuah rangkaian kejadian tanpa hikmah. Allah ingin mengajarimu banyak hal. Tanpa sadar, itulah nikmat terbaik-Nya yang engkau belum cukup paham: nikmat diberi pelajaran. Tak semua orang mampu memetiknya dengan sebaik-baiknya pemahaman. Kau, seharusnya bukan hanya memberi maaf, namun juga berterima kasih.

Kau terbenam dalam air mata, masih terbalut mukena pemberian ibunda. Warnanya putih, seputih ketulusan cintanya. Pada dasarnya kau ingin mampu memberi setulus itu. Meski bukan bidadari, pada dasarnya kau ingin hatimu bersih tak berkalang noda lagi.




-Disalin dari caption postingan di instagram

-Syawal 1437 H

Tidak ada komentar: