Kamis, 15 September 2016

Menjelang Dua Sekian





Hai.

Rasa-rasanya baru kemarin kamu masuk sekolah Madrasah Ibtidaiyah. Seragamnya putih-hijau untuk Senin-Selasa, dan putih-biru untuk Rabu-Kamis. Kau kikuk karena tak ada teman satu Taman Kanak-Kanak yang satu sekolah lagi denganmu. Malu-malu mencomot sepotong melon demi berkenalan dengan teman baru di ruang guru. Anak itu gempal nan menggemaskan. Pintar pula. Kau pernah bersaing dengannya menjadi juara kelas. Namun, kau lemah. Teman-teman usil mem-bully dan kau hanya bisa diam tanpa perlawanan, kemudian menangis sendirian, menelungkupkan kepala di atas bangku kelas. Kau sebenarnya tak ingin lemah, namun nyata-nyata kau sering tak masuk sekolah karena kecelakaan. Entah berapa kali lebam dan luka dulu di tubuh kanakmu. 

Kau senang menggambar. Senang sekali. Sejak kapan? Sejak banyak buku gambar menghampirimu dari tangan-tangan pemberi kado di hari ulang tahunmu. Kemudian hampir semua teman mengatakan bahwa gambarmu indah dan patut diberi angka delapan. Kau juga mulai senang menulis cerita. Sejak kapan? Sejak buku menjadi sahabatmu yang paling setia. Kau tentu tak lupa sejarah awal kau senang membaca, bukan? Masa kanakmu yang riang dipenuhi dongeng. Dongeng-dongeng kecil yang disabdakan nenek menjelang tidurmu di dipan berkelambu, dan hanya ditemani redup lampu minyak bersumbu. Si Kancil, Pak Tani, Timun Mas, Buto Ijo, adalah tokoh-tokoh yang tak pernah luput diceritakan. Ketika cerita tamat, hanya ada suara jangkrik berdesir di halaman belakang, kau terlelap dalam senyap peraduan. Semenjak itu, tiap Ibu membelikan buku cerita bergambar, kau selalu bersemangat membacanya berulang kali, hingga hapal jalan ceritanya. Masih ada sejuta dongeng lainnya yang menghiasi langkah masa kanakmu. Tak cukup Nirmala dan Oki, tak cukup Bona dan Rongrong ala majalah Bobo. Membaca adalah kenikmatan tersendiri. Toko buku adalah surga. Selanjutnya, kau mulai senang mencoba berkhayal dan mengarang cerita.

Ahai, kau juga senang main rumah-rumahan, seperti anak perempuan pada umumnya. Sayangnya, kau sering mainnya hanya sendirian karena adik satu-satunya terlahir laki-laki. Hampa. Kau ingin adik perempuan namun tak bisa. Sebagai seorang kakak, kau malah lebih sering dijahili dan tak punya kata lain selain mengalah.

Bumi berotasi, waktu berputar. Masa remaja mengetukmu dengan satu kesadaran, ke mana hijab yang seharusnya kau kenakan? Semenjak kanak hijab adalah asing. Perintah-Nya tentang itu bahkan baru kau ketahui beberapa tahun berselang setelah baligh. Masa putih-biru yang mengharu-biru, tempat perjumpaanmu dengan keluarga kedua: guru-guru dan teman-teman baik. Meski begitu, keputusan hijrah itu baru kau ambil begitu menjejak di masa putih-abu-abu, meski melalui pertentangan yang tak sedikit. Kau bersikukuh menaati perintah-Nya, pun tak ingin merenda kisah yang katanya indah di masa remaja namun semu belaka.Yang ada di benak remajamu ketika itu, kau ingin benar-benar menjaga diri untuk sebilah nama di masa depan yang telah dipersiapkan tuhan. Cerita usai? Tidak. Hatimu yang rawan tak bisa menolak datangnya rasa. Kau bilang itu suka. Maka, buku harian menjadi sahabat yang membuatmu tersenyum hampir setiap hari. Ingatlah, betapa produktifnya orang yang jatuh hati. Puisi-puisi menjadi pengejawantahan itu semua. Sastra membuatmu jatuh cinta. Ah, tidak. Jatuh cinta membuatmu jatuh cinta pula kepada bait-bait puisi sastra. Diam-diam kau sepakat dengan Andrea Hirata: cinta selalu berbanding terbalik dengan waktu, namun berbanding lurus dengan gila.

Oh, tentu kau masih ingat ketika kakimu pertama kali menjejak di lantai Auditorium fakultas itu. Hujan deras siang itu menahan langkahmu untuk pulang, hingga malamnya kau malah terdampar di tengah hiruk-pikuk gelaran pertunjukan. Matamu berbinar takjub seraya membatin: bisakah aku kembali lagi kemari, sebagai mahasiswi? Ah, Allah Maha Baik, bukan? Dikabulkannya inginmu. Lantas, kau semakin bersemangat memperbaiki diri. Hijrah ke kota baru bukan hanya hijrah fisik, namun hijrah rohani. Seperti ada ruapan aroma surga tiap kali kau berada di tengah-tengah mereka, insan-insan yang senantiasa haus akan cinta-Nya. Merantau membuatmu belajar menahan rindu. Bahkan kota itu seolah sudah menjadi rumahmu.

Hai. Rasa-rasanya baru kemarin. Dibonceng memakai sepeda sambil main tebak-tebakan. Akrab dengan sawah dan pematang-pematangnya. Membantu kakek memunguti biji kopi merah-merah yang luruh dari pohonnya. Berburu batang-batang tebu untuk dihisap sari manisnya.

Kini, sudah dua kali memakai toga, dengan dua gelar di belakang yang membuat nama semakin mengular panjangnya. Sudah dua kali disambut di luar arena wisuda dan memanen buket-buket bunga.

Waktu telah meminang siapa saja menjadi remaja, dewasa, bahkan tua. Ada yang bilang usia yang beranjak semakin rawan. Harus melakukan pencapaian-pencapaian. Beragam teman seusiamu juga seperti itu. Tentu, banyak di antara mereka yang sudah bekerja, telah dua kali memakai toga, tak sedikit pula yang telah berumah tangga dan menimang anak-anaknya. Kau hanya semakin menyadari, bahwa jalan yang harus ditempuh tak selalu sama. Tak harus seragam seperti mereka. Ada idealisme yang belum hangus, pun ada cita-cita yang belum pupus. Yang kau yakini, kau harus tetap berpegang teguh pada tali-Nya. Kau harus tetap mencintai ayat-ayat-Nya. Ada sabar yang harus senantiasa dipanjangkan. Ada tawakal yang harus selalu ditanamkan. Ada syukur yang harus selalu digumamkan.

Kau rasanya tak butuh ucapan selamat atas berkurangnya jatah usia. Kau hanya butuh doa yang diucap diam-diam setulus-tulusnya.


Tidak ada komentar: