Kamar itu luas—cukup luas dan bagus untuk
ukuran kamar kos, perabotannya yang berupa almari, meja belajar berikut kursi,
kasur spring bed dan kamar mandi dalamnya juga masih bagus. Bisa
dikatakan nuansanya cukup girly karena dicat warna pink. Harga
sewa kamar itu untuk satu bulan lebih dari 700 ribu, masih terbilang murah
untuk standar kosan di Jakarta dan sekitarnya. Meski begitu, penyewa kamar itu
tidak pernah tinggal menetap. Ia menginap entah di mana setiap malamnya,
meninggalkan kamarnya sunyi tanpa penghuni. Apa ia tidak merasa rugi? Atau
tujuh ratus sekian ribu rupiah tidaklah sesuatu yang sangat berarti, lantaran
ia mahasiswi anak orang kaya? Dari sekian banyak kamar di rumah itu, kamarnya
termasuk yang paling luas dan dihargai lebih mahal daripada kamar-kamar
lainnya. Ujar penjaga kosan, gadis itu hanya bertahan satu minggu di kamar itu,
padahal tentu ia sudah membayar uang syarat masuk untuk tiga bulan pertama.
Alasannya satu: takut. Percaya atau tidak, rumah kos yang saya tinggali di semester
terakhir masa studi magister UI itu terletak di ujung gang, dan bersebelahan
langsung dengan area makam. Teman saya berkelakar, “Itu yang kamarnya di lantai
satu, satu lantai sama kuburan dong ya. Hahaha.”
Dulu saya pindah ke rumah kosan itu
juga karena alasan yang sama: takut. Tersebab kosan sebelumnya bernuansa ‘tak
biasa’ dan saya merasa di sana memang ada makhluk Allah lain yang turut tinggal
di sana, daripada terus-menerus dicekam kengerian, akhirnya saya memutuskan untuk
pindah saja. Tak dinyana, rumah kos yang baru justru bertetangga dengan area
makam. Meski demikian, tidak ada nuansa menakutkan maupun perasaan-perasaan tak
nyaman seperti di kos sebelumnya. Kamar saya memang tidak di lantai satu, namun
lantai dua, jelas tidak satu lantai dengan area makam. Meski terkadang sepi, saya
merasa nyaman tinggal di sana hingga akhir Februari 2016. Alhamdulillah.
Mengingat si mahasiswi yang kamarnya
satu lantai dengan kuburan tadi, saya jadi tersadar, betapa kita seringkali bertingkah
aneh dengan takut akan hal-hal kodrati yang cepat atau lambat pasti terjadi.
Kita menafikan kesadaran dalam diri bahwa hidup dan mati adalah dua hal yang
berdampingan erat sekali, bahwa batas kehidupan dan kematian hanya serupa
dinding rumah dengan luar, bahkan lebih tipis daripada itu. Kita lupa
menginsafi pesan bahwa mati adalah jodoh yang paling dekat dan paling pasti.
Seandainya ingatan itu selalu terpatri, kesadaran itu selalu menyala di hati,
kita tak akan pernah mau seenaknya bermain-main dengan hidup ini. Lucunya, kita
jauh lebih sering menggalaukan hal-hal yang bersifat fana, daripada yang
hakiki. Sementara kain kafan sedang ditenun dan lubang makam siap untuk digali.
Seandainya setiap kita betul-betul
memahami, tak ada lagi bimbang-bimbang picisan yang menghantui. Kita akan
disibukkan oleh amal-amal kebaikan yang semakin mendekatkan kita kepada tuhan.
Bukankah kita harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya sebelum bertemu jodoh? Jodohmu
dekat. Sungguh dekat. Ia adalah mati.
Cengkareng, 17 Oktober 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar