Prolog
Kota
Belimbing, Januari 2016
Matanya tengah
menyimpan harap yang tak biasa. Ia merindukan mendung membayang di langitnya
yang sekarang, namun tak ingin hujan tercurah. Ia hanya ingin mendung saja. Ya,
mendung saja. Biar senada dengan suasana hatinya yang juga tengah dilingkupi
warna-warna kelabu. Ia hanya ingin mendung mengungkung langit saat itu juga.
Ya, mendung saja. Definisi cuaca yang ramah baginya saat ini adalah ketika
langit tak memberikan terik, namun juga tak menurunkan hujan yang ujungnya akan
membasahi kerudung dan rok panjangnya. Dengan begitu, ia akan bisa leluasa dan
nyaman duduk di ruang terbuka tepi danau nan hijau membentang itu. Tempat itu
yang beberapa bulan terakhir ini membuatnya senang berkawan dengan kesepian,
sebab bersama kesepianlah sel-sel abu-abu dalam otaknya mampu bekerja dengan
baik, mengolah rasa menjadi barisan kata bahkan alinea. Namun tidak, kali ini
ia sedang tidak ingin menulis apa-apa. Jikalau tiada satu orang pun di sana,
ingin sekali sesak yang telah beberapa hari tertahan di kerongkongan itu keluar
menjelma limpahan air mata.
Ia tersadar, tak
seharusnya berlebihan menimang harapan kepada sosok yang baru hadir dalam
episode dua puluh lima tahun hidupnya. Namun, menyandarkan harap hanya kepada
Sang Pemilik Semesta juga bukanlah semudah-mudahnya perkara. Ia, perempuan
biasa yang masih belajar menyederhanakan cinta. Tidak berharap banyak, tidak
ingin menuntut terlalu muluk, namun juga tidak secara serampangan menjatuhkan
pilihan. Untuk sebuah ikrar janji yang konsekuensinya akan ia terima sepanjang
hayat, ada yang harus dipertimbangkan matang-matang sebelum mengambil
keputusan. Akhir yang baik tidak selalu menyenangkan, seringkali akhir yang
baik itu pahit tiada tara. Bukankah obat yang pahit ada untuk menghilangkan
sakit? Sedangkan ia kini juga tengah berupaya bersahabat dengan rasa pahit.
Mungkin memang pahit itulah yang justru kelak akan berjasa sebagai penawar luka
dalam hatinya.
Langit di atas
bumi di mana ia berpijak sekarang dipenuhi mendung, memang. Matanya masih
berharap rinai tak akan turun—meski kadang mustahil menginginkan hujan tertahan
di langit saja, sementara musim tak lagi kemarau. Ah, bukankah tak ada yang
mustahil bagi tuhan? Sementara ia masih bertanya-tanya, ke mana gerangan
perginya doa-doanya yang rahasia. Apakah Allah masih menyimpan doa yang ia
lantunkan ke angkasa sebelum turun sebagai jawaban, sebagaimana halnya langit
menahan mendung tetap mengapung sebelum ia menjelma tetes-tetes hujan yang tercurah ke bumi di waktu yang tepat?
Ia melemparkan
pandang ke bangunan gagah di seberang danau. Di tempat itu—orang-orang
menyebutnya Balairung Universitas—beberapa hari kemudian ia bersama ribuan
orang lainnya akan memakai toga, disalami rektor dan dekan, diberi selamat atas
pencapaian yang membanggakan. Kau,
seharusnya kau tersenyum bahagia, hatinya berbisik.
Kanza, sekarang di Tokyo sedang musim apa? Usai hari
bernama wisuda, aku ingin pergi sejauh-jauhnya. Sejauh-jauhnya…
Terkirim.
Berbelas-belas menit berlalu, dan ia masih berharap pemilik surel di negeri
seberang segera membalas pesannya. Ah,
mungkin ia sedang sibuk, batinnya.
Rinai mulai
menitik. Hujan sudah bosan tertahan di langit rupanya. Ia malas beranjak dari
tempatnya mematung bisu sejak tadi. Hingga sebuah tangan kecil berpayung
terulur, mengacaukan segerombolan kepingan kisah tak menyenangkan yang meracuni
benaknya barusan.
“Payung, Kak.
Lima ribu saja.”
Lelaki kecil itu
membuatnya iba, hingga ia iyakan tawaran payung itu demi mengantarkannya ke
halte stasiun, daripada harus berhujan-ria. Ah, naif, di sekitarnya masih
banyak anak-anak yang tak mampu bersekolah dengan layak, lantas karena itu
harus rela menjajakan tisu, payung, makanan kecil dan sebagainya. Sementara
perempuan yang telah dewasa sepertinya, masih saja termehek-mehek hanya karena
urusan cinta, jodoh dan perasaan. Bangun, Mutia! Hidup tidak sesempit itu.
Ponselnya berdenting.
Surel itu berbalas.
Jika kau juga sedang ada di sini sekarang, tentu kau
tak akan tahan untuk tidak menulis. Haru[1] yang membuat haru.
Cuaca menghangat, semangat mulai tumbuh dan mekar seiring mekarnya
kuntum-kuntum bunga sakura dan plum. Bukankah itu sungguh puitis untukmu,
Mutia? Anything happened? Kutunggu ceritamu.
Salam,
Kanza.
Ada senyum yang
perlahan melengkung, setelah beberapa hari ini dadanya dipenuhi kecamuk benci
dan air mata. Kereta komuter jurusan Tanah Abang-Jatinegara diumumkan akan
tiba. Langkahnya bergegas menuju peron stasiun, berlomba dengan calon penumpang
lainnya sebelum kereta itu penuh sesak dan tak ada celah lagi untuk dimasuki.
Tuhan sedang melatihku untuk tak mudah jatuh,
batinnya lagi.
***
Ini prolog novel yang saya tulis apa adanya dalam kurun waktu yang tidak lama, tanpa revisi pula. Setelah dibaca dan dipertimbangkan lagi, tampaknya kurang apik dan butuh diganti dengan yang baru. Alasan pertama dan paling krusial adalah persoalan setting. Awalnya sangat ingin menghadirkan setting negeri sakura dalam cerita yang saya buat. Bukan tak bisa. Tentu sangat bisa, meskipun saya belum pernah mengalami tinggal di sana. Ada banyak mata yang bisa saya pinjam untuk mendeskripsikan Jepang. Namun, tak semua orang mampu mendeskripsikan dengan baik sesuai yang penulis harapkan. Akan susah ketika malah terjadi kesalahpahaman, sementara penulis belum benar-benar memahami konteks sosial-budaya pada latar yang diinginkan. Baiklah, setting diganti. Setting luar negeri resmi dicoret. Haha. Agaknya terlalu muluk jika dipaksakan. Maksimalkan saja setting yang benar-benar telah akrab dalam keseharian, kemudian perdalam konten ceritanya. Alhasil, prolog tak ada, diganti dengan bab satu, dan menjadi lebih panjang. Meski demikian, agaknya saya tetap membutuhkan riset kecil-kecilan untuk menulis ini. Sebuah tantangan tersendiri, sebab proyek ini saya niatkan menulis berdua, bukan sendiri. Karena otaknya dua, tentu harus bisa menyamakan visi dan misi cerita, termasuk bagaimana nanti memadukan alur dan pola ceritanya.
Meskipun belum tahu kapan rampungnya, doakan ya! Judul masih rahasia. :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar