Jumat, 21 Oktober 2016

Sepotong Cinta dari Langit




“Ini sekadar tentangnya, gadis manis, ayu, cerdas dan lemah lembut. Senyumnya tak pernah lekang di wajahnya, membuat mata syahdunya selalu menenteramkan jiwa. Laki-laki mana yang tak menyukainya? Ah, jujur, aku sebagai perempuan sangat menyukainya.
Apabila aku memiliki seorang adik laki-laki, akan kusuruh giat turut serta ke majelis ilmu apa pun, mengaji dan mengkaji ilmu dakwah, Islam, iman, fikih, akidah dan lain hal agar mampu menyeimbangi ketaatannya.
Cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya selalu tampak dari sikapnya. Dia yang selalu menjadi makmumku di kamar kosan dulu. Ia yang tidak pernah bersungut ketika aku membangunkannya di kala sepertiga malam dan di waktu subuh. Tahajud, puasa sunah, dan rawatib serta duha tak pernah pupus dalam agenda rutinnya.
Dia sungguh sempurna dalam penilaian mataku dan hatiku. Terkadang aku malu dengannya, ketika selepas magrib aku langsung berkutat dengan laptop karena urusan dunia, ia masih menyempatkan duduk membaca kitab suci, surat cinta dari Sang Penciptanya untuk urusan akhiratnya.
Adinda, aku masih ingat mimpi-mimpimu, bahkan hasratmu untuk studi ke Jepang tak pernah kuragukan. Kau cerdas, cerdas dalam segala hal.
Terkadang kau masih menyempatkan menabung untuk membeli buku, infak, sedekah, dan lain sebagainya, padahal aku tahu keuanganmu. Kau selalu menjadi alarm pengingatku seputar Islamic Book Fair atau tentang kajian ilmu di Masjid Kampus.
Kau adalah salah satu kecintaanku yang tiada tara di antara yang lainnya. Aku bangga menjadi kakakmu beberapa waktu di rumah kosan kita dulu. Aku bangga membaca buku karanganmu, kau memang berbakat dalam menulis.
Ingat, Sayang, ingat nasihatku: dakwah terbaik adalah dakwah perbuatan, dakwah tersulit adalah dakwah keluarga, dakwah terindah adalah dakwah dalam dekapan ukhuwah.
Aku mencintai Allah atas segala karunia yang Ia berikan. Aku mencintaimu karena kecintaanku pada Allah, dan aku mencintai keluargamu karena kecintaanku padamu.”


Tulisannya kali ini cukup panjang untuk ukuran sebuah status media sosial. Tak ada tag atau mention yang seolah menyuruh saya membacanya. Mungkin ia membiarkan saya tahu sendiri tanpa ditandai. Rabu petang, 6 Januari 2016, usai saya meminta doa untuk kelancaran sidang tesis keesokan harinya, tulisan panjang itu muncul di beranda akun line saya. Ada lima foto saya yang ia lampirkan, namun foto yang tak tampak muka. Foto yang ia unduh begitu saja dari beberapa akun media sosial saya. 

Ada letupan haru yang meruah dalam dada, sekaligus pahit karena miris tak terkira. Miris, karena tentu saya tak sepenuhnya seperti yang ia tulis, bahkan mungkin jauh dari itu. Terlalu berlebihan memuji. Terngiang kembali ucapan Tuan Guru Haji Dr. M. Zainul Majdi, Lc., M.A., Gubernur Nusa Tenggara Barat suatu kali ketika beliau hadir memberi materi di Masjid Ukhuwah Islamiyah UI Depok, bahwa Rasulullah saw berpesan, ‘Jika engkau menjumpai ada orang lain yang memujimu, maka sumpal mulutnya dengan tanah.’ Ah, sesungguhnya betapa pahit dan berbahayanya seonggok pujian. Namun, betapa tak sedikit pula yang haus akan pujian dan senang mengumpulkan ratusan tepuk tangan. Tak sadar jika itu semua sangat bisa bermuara pada bangga diri dan ketagihan untuk riya’.

Saya juga jadi teringat tulisan Mbak Dita di blognya yang ia beri judul Selubung Tak Tembus Pandang.
 
"Apa jadinya jika semua aib kita ini Allah izinkan tersingkap dan nampak jelas di depan banyak orang? Tentu kita perlu bersyukur selama Allah masih berkehendak menutupi aib kita sehingga yang nampak dari kita adalah yang baik-baik. Jika Allah mau menutupi aib kita, tapi kenapa kita terkadang justru mengumbar aib saudara-saudara kita?"

Sungguh sebenarnya Allah masih mendekap diri ini dalam sebuah selubung tak tembus pandang yang menjaga aib-aib saya di hadapan manusia-manusia lain. Apa jadinya jika segala aib itu terlihat nyalang nan kasatmata? Masihkah kita mampu dengan percaya diri berdiri tegak menatap dunia? Dia, Yang Maha Kuasa tentulah sangat mencintai kita, betapapun kita telah berbuat begitu banyak dosa. Malam itu sepenggal cinta-Nya turun melalui perempuan di seberang yang diam-diam mengirim doa, yang diam-diam menulis teks-teks panjang di media sosial untuk adindanya ini. Semoga Allah juga selalu menjaganya.

"Ya Allah, jadikan diriku lebih baik dari sangkaan mereka. Janganlah Engkau hukum aku karena ucapan mereka, dan ampunilah aku lantaran ketidaktahuan mereka."
-Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a.- 



-Untuk Kak Ella

Tidak ada komentar: