Selasa, 18 Oktober 2016

Terbaik: Obrolan Sepintas Lalu





A: Pernah ingin suatu hari dilamar oleh sarjana Teknik Kampus Perjuangan. Tapi nggak maksa kok. Hehe. Maunya juga anak ITB atau IPB. Ya Allah... banyak maunya gue ini.

B: Bagusan anak ITB, Kak. Lebih teryakini. Wkwk. Yang punya Bukalap*k kan anak Teknik, siapa tahu dapat yang punya.

A: Ckckck.

B: Tapi jangan salahin deh kalau ternyata yang punya udah punya istri.

A: Udaaaah punya istriii diaaa, Dek.

B: Kayaknya udah punya anak deh, Kak. Tapi kan dia ada timnya juga, siapa tahu ada salah satu. Siapa tahu dapat yang keren, saleh, lulusan ITB, gundul. Gak papalah.

A: GUNDUL??? GAK!

B: Semakin gundul semakin pintar, Kak.

C: Kenapa sih orang-orang menganggap Teknik itu keren? Kalau nggak gitu ya Kedokteran. Kenapa nggak ingin dapat suami tuh anak Sastra gitu. Apa karena mostly anak Sastra gak necis dan berantakan? Sebel gue, keren kok dilihat dari latar belakang keilmuan.

B: Setuju sama Ummi. Jurusan gak mutlak memengaruhi bagaimana seseorang. Intinya tergantung orangnya.

A: Sabar... Aku sih lebih ke karakter orangnya. Nah, jurusan biasanya (biasanya loh ya) bisa memengaruhi karakter sehariannya, Umm. Misal, seperti diriku, walau aku puitis, aku gak suka laki-laki yang puitis. Aku lebih suka dia yang cuek (cuek perhatian) biar gak bikin gue mual.

B: Kakak puitis ya? Hahaha.

C: Memang. Tapi Ummi agak trauma sama anak Teknik. Kaku gak jelas gimana gitu. Beda banget sama Ummi yang dikit-dikit ketawa, dikit-dikit ngelawak. Kan gak lucu nanti Ummi hidup sama orang serba kaku dan jarang ketawa, nanti garing macam ngomong sama batu. Alur berpikirnya juga beda. Hahaha. Bubar ajalah.

A: Nah, iya, kembali ke orangnya, tapi sejauh ini, sekian tahun di kelas sastra, tetap saja tak pernah membuatku merasa tertarik dengan kepribadian satu pun di antara mereka. Berdasarkan teori yang kupelajari di kelas tadi, itu namanya reality as experience. Ada faktor pengalaman individu di dalamnya sehingga membuat satu konsep dalam dirinya akibat pengalaman pribadi, terutama trauma itu.

B: Haha. Mungkin karena dia berteman sama orang-orang kaku juga, Umm. Lingkungannya juga keras, tegas, iya ya iya, enggak ya enggak, sekali ketawa dibentak sama bos #eh. Plus saat itu mungkin yang bersangkutan sedang stres pangkat 100.

A: Senangnya dengan Adek ini ialah prasangka baiknya tinggi. Tapiiii, semua tetap bisa disimpulkan bahwa jodoh sudah ditakdirkan oleh Allah. Siapa pun dia, dialah cerminan siapa kita, dialah yang TERBAIK bagi kita. Latar jurusan apa pun itu. Dialah yang terbaik. Terbaik. Terbaik. Entah itu Kedokteran, Teknik, Sastra, Tata Boga atau apa pun. Banyak juga kasusnya anak-anak Teknik tapi gak terstruktur ngurus diri. Sebaliknya, anak Sastra ada yang terstruktur.

B: Di kuliah pun dosenku ngajarinnya gitu, Umm. Biasanya dosen itu bilang, “Kalian itu Teknik, harus jelas, tegas, jangan loyo, buat apa banyak ketawa tapi hasil nihil. Jangan kalian ngasih A, tapi orang nangkapnya B. Kalian harus bersaing dengan teknologi dan engineer luar apalagi MEA, kalau nggak mau ya sudah, keluar dari Teknik.” Sampai pusing dengerin dosen ngomong begini, ya Allah... Intinya sih gitu. Jadi emang dididik keras dan to the point. Lingkungan menuntut kita untuk begitu. Apalagi yang Teknik dengan kemampuan matematika, analisa, dan software yang expert, itu ketawanya kapan.. NB: bukan ngebelain anak Teknik.

A: Tapi gak suka aja dengan anak Teknik yang ngomong, “Maklumlah, kan anak Teknik,” ketika ditanya mereka belum lulus. Huhu. Seolah-olah kami yang Sastra ini skripsinya hanya remah-remah. Padahaaaaaal kan analisis pakai otak yang gak perlu ke lapangan itu gak sesederhana yang mereka pikirkan. Helloooww!

C:  Benar kata-katamu, Dek. Analisis Ummi juga begitu. Karakternya bisa jadi dipengaruhi oleh latar belakang keilmuan plus lingkungan kerja yang juga keras. Sebaliknya, orang-orang sosial dan cultural sciences cenderung dibesarkan dengan pola pikir serba relatif. Makanya, agak kurang nyambung kalau disandingkan dengan orang Teknik atau Eksak yang pola pikirnya sudah seperti yang Adek bilang. Tapi, balik lagi, kita tak boleh menggeneralisir.

B: Ummi sama Kakak lagi project bikin novel ya? Jadi pengen nulis buku juga, tapi ilmunya masih belum siap. Karena nulis harus banyak baca. Semoga suatu saat bisa nulis buku. Aamiin.

C: Ah, sudahlah. Quote for tonight: “Mengapa dia pergi? Karena kau berdoa pada Allah agar diberikan yang TERBAIK, dan dia bukanlah orangnya.”

A: Setiap yang datang dan pergi dari hidup kita akan memberi pelajaran berharga bahwa Allah-lah satu-satunya tempat pengharapan yang tak mengecewakan.

B: Trueee!

Tidak ada komentar: