“Dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada-Mu, wahai
tuhanku.”
(Quran Surah Maryam: 4)
Pertengahan tahun 2015, dengan
malu-malu saya titipkan secarik kertas di dalam amplop yang saya juduli Doa
kepada ibu saya yang malam itu berpamitan untuk berangkat ke Tanah Suci. Susah
payah saya sembunyikan air mata dan rasa sesak yang menyeruak. Pertama, was-was
akan keselamatan beliau sejak berangkat hingga pulang kembali. Kedua, agak
sedih karena harus meninggalkan adik laki-laki saya sendirian di rumah karena
saya harus segera kembali ke Depok demi menyelesaikan kuliah semester tiga dan
proposal penelitian untuk tesis.
Saya sudah lupa berapa persisnya
jumlah daftar keinginan yang saya tuliskan di secarik kertas itu. Lumayan
panjang. Sudah bisa ditebak, hal-hal apa saja yang ingin saya raih ketika itu.
Sebagai mahasiswi magister yang sudah semester tiga, tentu saja saya galau
tentang proposal penelitian untuk tesis. Sempat muram berhari-hari ketika ide
yang saya lontarkan tak disukai dosen. Ketika tema sudah disetujui pun, sempat
khawatir, jangan-jangan saya disuruh ke Jepang untuk melakukan penelitian
lapangan, sementara dananya tidak ada dan jatah pengerjaan tesis itu sendiri
tidak lama. Ada resah yang timbul-tenggelam, apa saya sanggup menyelesaikan
tesis tepat waktu dan memakai toga untuk kedua kalinya pada Februari 2016?
Daftar doa selanjutnya tentu saja
berkaitan dengan hal-hal selain kelulusan; pekerjaan, menikah sebelum berusia
27 (saya begitu random menulis angka ini, padahal hanya Allah yang tahu
waktu yang tepat), dan kemudahan untuk menginjakkan kaki ke Tanah Suci pula.
Ah, rasa-rasanya, kebanyakan doa saya terlalu duniawi. Terlalu standar. Bahkan,
malu saya mengakui jika di daftar doa itu ada pula saya selipkan bahwa saya
ingin segera menghirup udara Negeri Sakura. Mengapa saya tidak meminta doa
supaya diri ini istikamah, lebih salehah, pandai menjaga diri dan kehormatan
sebagai muslimah, diteguhkan dalam beragama, dikuatkan dalam setiap usaha, bersabar
di setiap ujian, semakin mencintai surat cinta-Nya, dan tetap berlaku adil
terhadap segala ketentuan yang tuhan tetapkan? Dalam perjalanan kembali ke
Depok, saya terngiang aneka macam keinginan yang saya titipkan. Ada sesal yang
menyelinap diam-diam. Tapi secarik kertas itu sudah terlanjur mengembara ke
Saudi Arabia. Pesan saya, “Jangan dibuka sebelum benar-benar sampai di sana ya,
Buk.”
Tidak ada ibu yang alpa mendoakan
kebaikan untuk anaknya, tentu saja. Namun, saya tahu, prioritas ibu berangkat ke
Mekah ketika itu adalah mendoakan adik saya. Terlalu rumit menjabarkan mengapa
ia bisa membuat ibu saya seringkali bersedih. Sebagai seorang single fighter,
perempuan sepertinya, meskipun serba bisa, tentu tak akan pernah bisa
memberikan sosok keteladanan selayaknya seorang ayah. Sedangkan anak laki-laki
sudah barang tentu membutuhkan identifikasi ke laki-laki yang bisa ia jadikan
panutan pula.
Ruang kosong yang seharusnya diisi
perhatian dan kasih sayang itu kemudian menciptakan semacam ‘pemberontakan terpendam’
dan sampah emosi yang semakin menumpuk. Studinya kerap berantakan, jarang
belajar, dan aktivitasnya hanya main-main belaka. Setelah lulus Sekolah
Menengah Kejuruan, semua tes masuk universitas yang dia jalani semuanya
berujung kegagalan. Sempat mogok tak mau daftar kuliah lagi. Padahal ia
laki-laki yang kelak harus mampu bertanggung jawab terhadap keluarganya.
Mungkin ada perasaan minder pula sebab sejak kecil kerap dibandingkan dengan
kakaknya. Maka, ibu mendoakan supaya ia mau bersemangat menuntut ilmu lagi, di
mana pun kampusnya.
Hari itu mungkin ia tengah
terisak-isak di tengah doanya di tepi Kakbah, atau ketika di Raudhah, atau
ketika di Jabal Rahmah. Memohonkan satu demi satu pinta, juga serentetan daftar
doa yang saya titipkan dalam selembar kertas itu ketika masih di Tanah Air.
Benaknya lantas memunculnya sebentuk bayangan kampus nun jauh di sana, padahal
ia belum pernah sekalipun menginjakkan kaki di sana. Bukan UGM, bukan pula
UI—dua kampus besar negeri ini, tempat anak perempuannya melanglang mengais
ilmu. Aneh. Apakah itu pertanda?
Selang beberapa bulan setelah
kepulangannya dari Tanah Suci, sebuah kabar membuatnya haru. Bagaimana bisa?
Anak lelakinya yang dilihatnya nyaris tak pernah belajar, diterima di kampus
itu, yang bayangannya terlintas dalam benak ketika ia kusyuk melantunkan doa di
tepi Kakbah—padahal belum sekalipun kakinya pernah singgah ke sana. Ajaib.
Apalagi doa seorang ibu, mustajab. Lantas, bagaimanalah ia tidak rindu tempat
itu lagi? Tempat segala doa terlantun, berpusar, bercampur dengan doa dari
segala penjuru, kemudian membumbung ke arasy-Nya.
Kemudian, adakah satu demi satu
pintanya mulai terjawab? Mungkin juga sederetan doa di kertas lusuh yang
dititipkan putrinya ketika itu. Doa-doa yang telah ia langitkan, berjatuhan ke
bumi laiknya keajaiban demi keajaiban yang menjelma tetesan-tetesan hujan nan
sejuk dan menenteramkan.
Selang beberapa bulan setelah doa
itu dilantunkan di Raudhah pula, usai mengantar adik saya registrasi di kampus
barunya, pesan dari seseorang yang datang di senja itu mengejutkan saya.
“Kamu bersedia taaruf (untuk menikah) sama dia?”
Bahkan saya sudah melupakan itu ada di
daftar doa saya urutan nomor berapa. Prioritas saya saat itu adalah fokus
mengerjakan tesis, kemudian wisuda. Namun seiring dengan
kontemplasi-kontemplasi dalam diri, tawaran itu saya sambut jua. Apa
jangan-jangan ini jawaban dari doa ibu saya ketika masih di negeri cahaya? Sangat
mungkin. Saya kumpulkan sedompol keyakinan seraya membuang seribu ragu yang masih
menyelinap acapkali pikiran saya terbang kepadanya. Belum lama patah hati,
namun pesan dari seseorang itu membuat saya bertanya-tanya tentang jawaban dari
doa ibu saya. Jika ya, alangkah cepat Allah memberikan penawarnya. Allah Maha
Baik. Di tengah galau mengerjakan tesis magister, Ia menghadiahi saya galau
yang lain. ^_^
Pengerjaan tesis berjalan lancar,
bahkan saya sangat menikmati prosesnya. Sebab saya suka dengan tema yang saya
angkat. Apalagi saya kebagian dosen pembimbing yang luar biasa baiknya. Makin bertambah
syukur dan yakin saya bahwa Allah senantiasa menjawab doa-doa.
Dua-tiga bulan berlalu. Naskah tesis
sudah saya serahkan ke jurusan, tinggal menunggu jadwal sidang. Di sisi lain, ada
jadwal yang belum purna, rencana silaturahim keluarga antara saya dengan calon
yang belum tahu entah kapan. Jarak yang terentang sedemikian jauhnya membuat
semuanya tertunda dan tertunda.
Qadarullah, ujian datang. Ada satu dosen penguji yang tidak setuju tesis saya
diluluskan saat itu. Berkat negosiasi dari dosen pembimbing saya, beliau
memperkenankan saya merevisi tesis dalam waktu empat hari untuk disidangkan
ulang. Lumayan menguras energi pikiran dan perasaan. Selesai. Sidang ulang. Lulus,
dengan nilai A minus. Pujian dilontarkan, satu persatu dosen menyalami saya. Alhamdulillah.
Jika saya tidak sidang ulang, mungkin nilai saya kurang layak, padahal topik
penelitian saya menarik. Setelah purna masa studi dan wisuda pun, Allah masih
memberi kesempatan saya untuk tampil di dua simposium internasional.
Qadarullah lagi, tersebab tidak kunjung ada titik temu, proses ‘perkenalan’
itu pun disudahi. Bukan karena kami tak bisa memangkas jarak dan waktu dengan
usaha, namun Allah jualah membuktikan keraguan yang sejak dulu
berdentang-dentang dalam labirin hati saya. Ragu yang entah kenapa sulit untuk
ditepis meski telah berulang kali saya memohon dalam istikharah yang didirikan
terbata-bata.
Maka jelas sudah, Dia belum
memberikan jawaban itu. Orang tersebut bukanlah jawaban dari doa ibu, maupun
doa-doa saya. Seseorang hadir dalam hidup kita tentu juga atas seizin-Nya,
untuk menguji keteguhan kita, memberikan hikmah dan pelajaran yang kadang tak
bisa kita terka. Oleh karena itu, nilainya tak bisa ditukar dengan berapapun
nominal uang yang setara dengan biaya kuliah kita. Sekali lagi, Allah Maha
Baik. Tentu saja, sangat mungkin, ada sesuatu yang kurang baik jika saya jadi
bersamanya. Selain itu, sangat mungkin, Allah masih menggenggam doa-doa lain,
dari seseorang lain yang lebih baik menurut versi-Nya, yang meminta supaya saya masih disendirikan
hingga saat ini.
Jarum jam berputar. Waktu berlalu. Undangan
yang saya terima di permulaan Ramadan itu, jujur, membuat saya setengah tak
percaya, sekaligus takjub. Bagaimana tidak? Beberapa bulan sebelumnya, ketika
pertemuan terakhir saya dengan Mbak Dita, senpai saya, curhat mengenai
jodoh yang masih gelap itu tak pelak diutarakan juga. Mbak Dita malah menggoda
saya yang ketika itu tengah “berproses”, namun belum juga menemui titik temu
untuk berlanjut ke tahap selanjutnya (dan kemudian menemui titik kegagalannya
sendiri).
Saya masih ingat doa-doa yang
didiktekan Bang Ippho Santosa di antara riuhnya jemaah Masjid Ukhuwah Islamiyah
UI Depok ketika kami disuruh saling peluk dan mendoakan, doa-doa yang
dilafalkan Mbak Dita kepada adiknya ini dengan yakinnya: semoga dimudahkan
kelulusannya, Dek. Dimudahkan jodohnya, pekerjaannya... Doa yang standar,
tentu saja, bagi mahasiswi dengan usia dua puluh sekian, apalagi yang
digalaukan jika bukan lulus, kerja dan jodoh? Begitu pun Mbak Dita, lulus
sudah, kerja sudah, tinggal menikah, yang sayangnya, waktu itu masih gelap.
Sementara ujian seorang lajang di atas seperempat abad sepertinya tak semakin
surut, justru bertambah-tambah.
“Iya, Dek. Proses pernikahanku ini semakin menguatkan keyakinanku akan maha kuasanya Allah dalam menjawab doa-doa. Kita, manusia, tak bisa meneropong masa depan karena masa depan sepenuhnya menjadi hak prerogatif Allah. Tugas kita hanya mengetuk pintu. Bila satu pintu tak terbuka, maka kita coba terus mengetuk pintu lainnya. Adalah hak Allah untuk membuka pintu yang mana. Bisa jadi, justru pintu yang tidak kita ketuklah yang terbuka. Maka, semoga kita tidak lelah untuk mengetuk pintu-pintu itu, kemudian terus berdoa sembari memahatkan keyakinan bahwa pertolongan Allah itu dekat,” ujarnya.
Saya menjadi paham, dan keyakinan
saya semakin dalam. Bahwa malaikat sepenuhnya mengamini doa-doa baik dari hamba
Allah yang mukmin kepada saudaranya, kemudian malaikat mendoakannya. Siapa
sangka, doa yang terijabat itu dikabulkan cepat bagi si pendoa, daripada yang
didoakan.
Entah berapa kali doa Mbak Dita yang
diaminkan malaikat, mungkin tak cuma satu. Tapi saya pun percaya, doa Mbak Dita
untuk saya di masjid itu adalah salah satunya yang naik ke langit dan mengetuk
pintu-Nya.
Maka, usai doa-doa, usai kepasrahan
sepenuhnya kepada Yang Maha Kuasa, saat kau tak tahu lagi harus berbuat apa dan
lari ke mana, usai ingin mengikhlaskan segala sesuatu di belakang, terkadang
saat itulah keajaiban demi keajaiban bermunculan tanpa bisa diduga. Bagi siapa
saja yang percaya, tentu saja bukan kebetulan.
Ketika itulah kau mulai paham
mekanisme kerja sebuah doa; satu momen yang membuat hatimu terhubung ke Sang
Maha Segala. Sebab, Ia selalu senang mendengar permohonan hamba-Nya yang
menghiba, Ia—Sang Penggenggam Takdir, pemegang kunci yang mengurai setiap
permasalahan.
Kita memang tak pernah tahu kapan
setiap penggal pinta yang kita lantunkan diam-diam akan turun menjelma jawaban.
Entah cepat, entah harus melalui rentang waktu lama yang menyuruh kita untuk
tetap memanjangkan sabar. Sebab cepat belum tentu bermakna tepat. Kita juga tak
pernah tahu, apakah permohonan itu benar-benar sampai ke singgasana-Nya, atau
hanya terantuk dan berhenti di langit-langit rumah kita.
Kita hanya harus selalu percaya, bahwa
di setiap udara yang kita temukan, di sana akan kita jumpai Allah yang
senantiasa mendengar doa-doa. Kita hanya harus selalu percaya, bahwa doa
merupakan bahasa cinta paling puitis dan romantis yang pernah ada. Alangkah menyenangkannya
waktu tunggu kita jika selalu diiringi yakin, bahwa Allah tak akan pernah
sekali-kali mengecewakan kita dengan tiada memberi jawaban atas segala rahasia
dalam bentangan takdir kehidupan kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar