Bagaimana jika aku tidak seperti
yang kau lihat menurut pandangan terbatasmu sepanjang ini? Bagaimana jika aku
tidak sesuai dengan ekspektasimu selama ini? Bagaimana jika suatu hari nanti kamu
akan mengalami banyak sekali keterkejutan karena aku jauh sekali dari
sangkaanmu selama ini? Bagaimana jika aku ternyata nyaris tidak memenuhi aneka
daftar kriteria tentang seorang yang kau harapkan menjadi pendamping diri? Bagaimana
jika aku ternyata tidak secantik aku yang terdokumentasi dalam gambar atau
foto-foto dunia maya? Apakah kamu akan tetap menjatuhkan pilihan kepadaku? Apakah
aku tetap menjadi sebuah kemungkinan yang akan selalu kamu semogakan? Apakah
kamu akan tetap meneguhkan langkahmu demi memangkas bentangan jarak itu, seraya
tetap bersabar soal lamanya waktu dan menjaga diri sebelum terjadi pertemuan
yang kapan pastinya masih menjadi tanda tanya itu?
Ah, lantas, bagaimana jika
pertanyaan yang sama ditujukan kepadaku? Bagaimana jika kamu jauh sekali dari
sangkaanku selama ini? Bagaimana jika karaktermu jauh sekali dari sesuai dengan
karakterku, apakah hari-hari kita nanti harus diwarnai dengan pertengkaran?
Bagaimana jika cemburumu terlalu minimalis, sedangkan aku begitu rawan dan
mudah tersulut api cemburu? Padahal bukan orang seperti itu yang kuinginkan
mampu menjagaku. Ia haruslah memiliki nyala api cemburu yang tiada padam, sebab
aku yakin itu adalah sebuah wujud cinta yang teristimewa. Jika yang ada padamu
ternyata tidak sepenuhnya memenuhi harapanku, apakah aku akan tetap menjatuhkan
pilihan kepadamu? Apakah aku akan tetap setia merapal doa-doa yang kusimpan
namamu di dalamnya? Apakah aku akan tetap meyakinkan hati ini untuk bertahan
dan memperjuangkan apa yang telah diam-diam kita sepakati?
Mari kita tanya kepada diri sendiri,
ketika kita telah terlanjur bersepakat untuk pulang, maka bukankah sudah
seharusnya jauh-jauh hari kita telah mempersiapkan diri untuk menjadi rumah?
Rumah adalah tempat kembali, tempat berteduh dari hujan dan panas terik
matahari, tempat kita bisa leluasa menyandarkan diri dan merebahkan badan yang
lelah, pun tempat menyimpan bermacam-macam rahasia yang kita tak ingin orang
lain mengetahui. Rumah apa adanya, biasa. Sebab kita bukanlah hamba yang cukup
kaya untuk hidup dengan banyak gaya. Hati kitalah yang menentukan untuk memilih
syukur atau kufur. Diri kitalah yang akan menentukan nyaman atau tidak, lapang
atau tidak.
Ketika kita telah memutuskan untuk pulang
dan bersiap menjadi rumah, bersiaplah pula untuk meluaskan kadar
penerimaan, tetap memanjangkan kesabaran, menambah jumlah syukur yang tiada
berbatas, berhenti melemparkan pandang jika rumput di rumah depanmu lebih hijau—sebab
kita sendiri justru tengah merawat rumpun bunga-bunga melati di halaman sendiri.
Bagaimana jika aku tidak seperti
sangkaanmu dan kau tidak seperti harapanku? Tidak mengapa. Setidaknya kita
telah berlatih membangun rasa penerimaan, jauh sebelum kita bertemu.
Selamat mencari jalan pulang. Jika
Ia yang menjadi tempatmu bergantung segala pengharapan dan penuntun segala
rindu, aku yakin kau tidak akan tersesat. Sesederhana itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar