Jumat, 03 Februari 2017

Bagaimana Jika




Bagaimana jika aku tidak seperti yang kau lihat menurut pandangan terbatasmu sepanjang ini? Bagaimana jika aku tidak sesuai dengan ekspektasimu selama ini? Bagaimana jika suatu hari nanti kamu akan mengalami banyak sekali keterkejutan karena aku jauh sekali dari sangkaanmu selama ini? Bagaimana jika aku ternyata nyaris tidak memenuhi aneka daftar kriteria tentang seorang yang kau harapkan menjadi pendamping diri? Bagaimana jika aku ternyata tidak secantik aku yang terdokumentasi dalam gambar atau foto-foto dunia maya? Apakah kamu akan tetap menjatuhkan pilihan kepadaku? Apakah aku tetap menjadi sebuah kemungkinan yang akan selalu kamu semogakan? Apakah kamu akan tetap meneguhkan langkahmu demi memangkas bentangan jarak itu, seraya tetap bersabar soal lamanya waktu dan menjaga diri sebelum terjadi pertemuan yang kapan pastinya masih menjadi tanda tanya itu?

Ah, lantas, bagaimana jika pertanyaan yang sama ditujukan kepadaku? Bagaimana jika kamu jauh sekali dari sangkaanku selama ini? Bagaimana jika karaktermu jauh sekali dari sesuai dengan karakterku, apakah hari-hari kita nanti harus diwarnai dengan pertengkaran? Bagaimana jika cemburumu terlalu minimalis, sedangkan aku begitu rawan dan mudah tersulut api cemburu? Padahal bukan orang seperti itu yang kuinginkan mampu menjagaku. Ia haruslah memiliki nyala api cemburu yang tiada padam, sebab aku yakin itu adalah sebuah wujud cinta yang teristimewa. Jika yang ada padamu ternyata tidak sepenuhnya memenuhi harapanku, apakah aku akan tetap menjatuhkan pilihan kepadamu? Apakah aku akan tetap setia merapal doa-doa yang kusimpan namamu di dalamnya? Apakah aku akan tetap meyakinkan hati ini untuk bertahan dan memperjuangkan apa yang telah diam-diam kita sepakati?

Mari kita tanya kepada diri sendiri, ketika kita telah terlanjur bersepakat untuk pulang, maka bukankah sudah seharusnya jauh-jauh hari kita telah mempersiapkan diri untuk menjadi rumah? Rumah adalah tempat kembali, tempat berteduh dari hujan dan panas terik matahari, tempat kita bisa leluasa menyandarkan diri dan merebahkan badan yang lelah, pun tempat menyimpan bermacam-macam rahasia yang kita tak ingin orang lain mengetahui. Rumah apa adanya, biasa. Sebab kita bukanlah hamba yang cukup kaya untuk hidup dengan banyak gaya. Hati kitalah yang menentukan untuk memilih syukur atau kufur. Diri kitalah yang akan menentukan nyaman atau tidak, lapang atau tidak.

Ketika kita telah memutuskan untuk pulang dan bersiap menjadi rumah, bersiaplah pula untuk meluaskan kadar penerimaan, tetap memanjangkan kesabaran, menambah jumlah syukur yang tiada berbatas, berhenti melemparkan pandang jika rumput di rumah depanmu lebih hijau—sebab kita sendiri justru tengah merawat rumpun bunga-bunga melati di halaman sendiri.

Bagaimana jika aku tidak seperti sangkaanmu dan kau tidak seperti harapanku? Tidak mengapa. Setidaknya kita telah berlatih membangun rasa penerimaan, jauh sebelum kita bertemu.

Selamat mencari jalan pulang. Jika Ia yang menjadi tempatmu bergantung segala pengharapan dan penuntun segala rindu, aku yakin kau tidak akan tersesat. Sesederhana itu.

Tidak ada komentar: