Apakah kau pikir selama ini kau berjuang mengetuk pintu langit
sendirian?
Ramadan tahun ini telah memasuki lebih
dari separuh bulan. Betapa cepatnya sang waktu yang berlari tanpa memedulikan
nasib kita hari ini. Sebagian orang santai sambil tetap mengerjakan
rutinitasnya setiap hari; memikirkan akan memasak apa untuk buka dan sahur, ke
mana akan pergi ngabuburit, menu apa yang harus dibuat untuk anaknya
yang masih balita, kapan ia harus mencuci, mengepel, dan mengerjakan urusan
rumah lainnya. Sebagian orang sudah sibuk memikirkan Tunjangan Hari Raya dan
daftar belanja, berkali-kali melongok almari yang ia rasa harus segera diisi
dengan pakaian baru, mukena baru, atau sajadah baru. Sibuk memerhatikan
penampilan baru di hari lebaran, namun melupakan apakah jiwanya telah bersalin
pula menjadi lebih baik ataukah tidak.
Sebagian orang yang lain memendam
gelisah akan tanggal yang kian tua, resah dengan waktu yang demikian cepat
berlari tanpa memedulikan nasibnya hari ini. Merisaukan kedatangan hari raya
yang selalu berujung tanya dari sanak saudara: kapan? Entah kapan lulus, kapan
bekerja, kapan menikah, kapan memiliki anak, atau kapan-kapan lainnya yang
ujungnya membuat kita seolah sok merasa tersakiti. Tanya itu ibarat pisau
belati yang digoreskan tepat di ulu hati. Kita tiba-tiba merasa menjadi makhluk
kurang beruntung, terlambat mencapai hal ini dan itu dalam arena kehidupan,
ketika di petak bumi lain orang-orang lain telah mencapainya. Kita tak jarang
merasa tanya mereka tak ubahnya kalimat sindiran, bagai dipermalukan di tengah
keramaian. Padahal mungkin tiada maksud lain selain basa-basi dan mencairkan
suasana untuk menghangatkan keakraban. Namun, kita yang tak pernah kebas rasa
selalu menerjemahkan itu menjadi sebuah kezaliman: bagaimana menjawab tanya
yang kita sendiri tidak tahu jawabannya? Kita merasa dijebak agar buntu
menjawab, kita merasa dunia tak adil, pertanyaan-pertanyaan itu hanyalah
kompensasi sok peduli namun tanpa solusi, serta segudang prasangka negatif lain
yang mengiringi.
Bisakah sederet pertanyaan “kapan” itu kita maknai dengan hati yang lebih bening dan lapang?
Bahwa tanya mereka sesungguhnya
berujung harapan dan doa, jika kita pun menyambut baik tanya itu dengan “Mohon
doanya.” Bahwa tanya mereka sesungguhnya tak bermaksud sejengkal pun melukai
perasaan kita yang terlanjur kelewat sensitif. Bisa jadi, melalui pertanyaan
basa-basi, ada doa yang kemudian diselipkan, digumamkan, dilantunkan, tanpa
telinga kita mendengarnya. Bisa jadi, kumpulan tanya itu beralih wujud menjadi
kumpulan doa. Doa untuk kita yang ditanya.
Kita tidak pernah tahu doa kita yang
mana yang akan diijabah oleh-Nya. Kita tidak pernah tahu doa dari mulut siapa
yang terucap untuk kita yang akhirnya menurunkan perpanjangan tangan-Nya.
Mungkin doa dari orang-orang yang pernah kita bantu dan mendapatkan kebaikan
dari kita, mungkin juga tulus-ikhlasnya doa orang tua, mungkin juga doa saudara
dan kawan-kawan kita. Seringkali kita tidak menyadari, kita tidaklah berusaha
dan berdoa seorang diri. Ada doa dan harapan-harapan dari orang lain yang turut
dipanjatkan, seiring kita juga tulus menanggapinya dengan sikap santun dan
senyuman.
Lebaran nanti—atau kapan pun jua,
semoga semakin bijak menghadapi lontaran pertanyaan-pertanyaan. Bukankah lebih
manis meminta senantiasa didoakan, sebab kita tak pernah berjuang mengetuk
pintu langit sendirian, bukan?
#CatatanRamadanHarike18
Tidak ada komentar:
Posting Komentar